Saturday, January 5, 2019

Selamat Tinggal Gigi Geraham Bungsu

“Ya, palingan 20 menit kelar”, ungkap dokter gigi (dogi) yang juga merupakan ahli bedah mulut dan juga profesor (prof), dengan logat betawinya yang cukup kental. Padahal seingatku minggu lalu saat konsultasi, dia bilang hanya 10 menit. Bisa-bisanya naik 100% dalam sekejap, begitu pikirku. Ah, tapi sudah kepalang tanggung, janji sudah dibuat, cuti sudah kepalang diambil, berbagai persiapan sudah dilakukan, dan aku sudah di ruangan di suatu rumah sakit di Jakarta Pusat, pantang hukumnya untuk mundur mendadak. The show must go on.

Di ruangan tersebut prof dogi didampingi dengan seorang perawat dan juga seorang dogi perempuan muda. Beberapa kali dogi muda berkomunikasi pelan dengan prof dogi, tanpa kuamati serius apa kontennya.

Singkat cerita aku mendapat suntikan di bagian gusi kanan bawah, tempat gigi geraham bungsuku tumbuh miring sehingga menabrak kakak kandungnya sendiri (gigi di depannya). Setelah 2-3 suntikan bius menerjang gusiku, prof dogi kembali ke mejanya semula. Dia merem sejenak dengan kepala tersandar di kursi, layaknya seorang detektif yang akan membongkar sebuah kasus pembunuhan berantai. Katanya, tunggu 5 menit agar bius bereaksi. Setelah 5 menit, drama dimulai....

“Udah tebel ini”, “jangan bikin gerakan yang gak perlu”, “kamu percaya saja sama saya”, “dikit lagi nih”, “kalo begini caranya, gimana geraham bungsu yang kiri nanti, itu lebih dalem lagi”, “ayo, gak papa”. Itu adalah kata-kata prof dogi selama jalannya pencabutan gigi. Selama itu pula saya mengerang kesakitan bukan kepalang. Setiap bunyi bor terdengar, saat itu pula rasa ngilu yang hebat datang menghampiri saya selama proses itu. Rasanya bunyi bor dan rasa ngilu sudah bersepakat sejak awal untuk hadir bersama, sampai-sampai bius tak mampu menghalangi. Alhasil, keringat saya mengucur bebas tak beraturan di sekujur tubuh.

Bahkan, meskipun ada dogi perempuan muda yang hadir dan mengamati, tidak sedikitpun saya bisa jaim. Dengan mulut yang terbuka lebar, pandangan mata yang terbatas hanya bisa melihat atap-atap rumah sakit, lampu, tangan dokter dan perawat, serta percikan darah di kening prof dogi, rasanya, pasrah adalah sikap paling bijaksana saat itu. Setampan, sekekar, secerdas, sepopuler, seberprestasi, sehebat, sekuat, setinggi apapun status sosialmu, se se se se apapun dirimu, kamu adalah pasien biasa yang lemah di tangan prof dogi. Rasa ngilu akan menghempaskan segala predikat yang ada padamu, bahkan juga sambil ditonton oleh dogi perempuan muda yang sedang belajar. Sekian.

Dipublikasikan H+2 setelah operasi gigi geraham bungsu dengan keadaan pipi masih bengkak.