Monday, October 30, 2017

Tokyo Kota Tersibuk ? Shinkansen Kereta Tercepat?

Dalam perjalanan menuju Gunung Fuji, saya dan NK berangkat cukup agak pagi yaitu 07.30 dari Akihabara- tempat kami menginap - menuju Tokyo, hanya dua stasiun kereta tepatnya. Senin cerah tersebut, aura kesibukan sungguh terasa di setiap stasiun. Orang-orang berpakaian necis dengan jas dan blazer berjalan cepat bahkan beberapa berlarian. Ketika kami naik kereta Shinkansen pun aura kesibukan tetap kental. Orang-orang tidak ada yang mengobrol, senyum, tertawa, apalagi bercanda di dalam gerbong, semua sangat serius baik bekerja, tidur tapi tetap siaga, ataupun sibuk dengan gawai masing-masing. Jadi, tidak ada suara di dalam gerbong kecuali suara mesin Shinkanzen itu sendiri yang terdengar tidak kalah serius mengantar kami semua.


Berbicara tentang Shinkansen, kereta ini memiliki penampakan layaknya kereta luar kota di Indonesia, termasuk interiornya. Perbedaannya terletak pada kecepatannya. Kereta berkecepatan 300 km/jam tidak mengurangi faktor kenyamanan penumpang sedikit pun. Bahkan saya sempat berpikir, apakah saya sedang menaiki Shinkansen yang cepat itu karena tidak ada perbedaan yang berarti. Namun ketika saya melihat ke arah luar jendela, maka jelas sudah kekeliruan keraguan saya bahwa, ini Shinkansen!

(Katanya) Gyokatsu Motomura itu Enak

Banyak sekali rekan-rekan Indonesia yang merekomendasikan kepada teman saya - NK agar mencicipi Gyokatsu Motomura. Kata mereka, Gyokatsu Motomura merupakan makanan makanan wajib. Begitu keterangan NK kepada saya. Akhirnya kami tanya si mbah gugel untuk mengetahui lokaso tempat makam tersebut, dan karena kami sedang berada di Shibuya, kami menjangkau Gyokatsu Motomura di daerah tersebut. Setelah berjalan kaki selama +- 12 menit di bawah guyuran hujan, tibalah kami di kedai tersebut.

Dari luar kedai tersebut terlihat cukup kecil, dan tidak mampu menampung semua calon pembeli. Hal tersebut terlihat dari antrian calon pembeli yang mengular sampai keluar kedai. Sore itu kondisi hujan (bukan gerimis), kira-kira pukul 7 malam waktu jepang. Namun para calon pembeli tetap setia mengikuti antrian dengan payung di atas kepala. Setelah +- 15 menit mengantri tanpa kejelasan informasi apapun, tibalah sang pramuniaga menghampiri calon pembeli yang sedang antri satu per satu dan sampailah pada kami. Ia menginformasikan kepada saya dan NK bahwa waktu tunggu adalah 1 jam 10 menit, serta menyakan kesediaan kami menunggu. Tanpa pikir panjang, NK langsung mengiyakan dan melanjutkan dengan pemesanan menu yang sebelumnya sudah disiapkan.

Di sisi lain, mendengar jawaban tersebut saya langsung menelan ludah di tengah udara dingin dan cuaca hujan di Shibuya. Saya menoleh melihat raut wajah NK yang yakin, tegas, dan lapar. Pada saat itu, saya tak lagi mempunyai kekuatan untuk berargumen lebih lanjut agar kami mencari tempat makan lain. Ditambah lagi, pengalaman mengatakan tidak ada yang mampu melawan keyakinan orang yang sedang lapar saat memesan makanan yang diinginkannya, setidaknya begitu pikirku saat itu. Jadi saya diam dan menunggu tanpa juga mengeluh. Namun kelelahan tak lagi dapat membohongi keadaan, karena kami sangat lelah setelah berjalan kaki seharian mengitari beberapa objek wisata tanpa henti.

Setelah 1 jam 10 menit, belum ada tanda-tanda kami masuk kedai. Memang antrian semakin berkurang, akan tetapi kami belum juga bisa mendekat ke pintu masuk kedai. Baru setelah 1 jam 30 menit akhirnya kami dipersilakan masuk, dan saya menghitung bahwa hanya terdapat meja dan kursi sebanyak 10 buah yang dapat diisi pengunjung dengan jumlah yang sama. Sedangan kedai tersebut tidak melayani bungkus dan bawa pulang (take away). Singkat cerita, makanan disajikan. Nasi putih, kuah sup, sayur, daging katsu yang siap dipanggang, kecap asin, serta bumbu seperti bawang putih dengan campuran lainnya. Kemudian sang koki menjelaskan cara memakan makanan tersebut, yaitu dengan cara dicocol dengan kecap asin dan bumbu, kemudian dipanggang. Dan hasilnya adalah, kenikmatan yang sempurna tiada tara. Gabungan hasil dari kelelahan, kelaparan, keteguhan, dan tentunya kesabaran. Semua terbayar lunas!

Oh ya, hal unik lainnya di Jepang, seluruh minuman dari tempat makan yang saya singgahi selalu menyediakan air putih ditambah es batu, atau setidak-tidaknya air dingin sebagai sajian minuman. Ada yang bisa membantu jawab kenapa? Tentunya ini sangat kontras dengan cuaca di luar cukup dingin (musim gugur), yaitu +- 15 derajat celcius.

Keresahan Makan Siang di Negeri Samurai Biru

Sebelum tiba di Jepang, sudah terbayang dalam benak saya bahwa saya akan mencoba berbagai macam makanan terutama sushi dan ramen.

Setibanya di Akihabara - tempat kami menginap - saya dan NK berjalan keliling untuk makan siang. Kami melihat banyak pilihan makanan yang membuat lidah tidak sabar untuk bergoyang, dan kebetulan kami berdua juga tidak mempunyai pantangan terhadap makanan apapun. Singkat cerita, sampailah kami di sebuah kedai ramen yang menurut penilaian sekejap cukup menggugah selera. Akhirnya kami memutuskan untuk makan di kedai tersebut. Sebelum masuk dan duduk di kedai tersebut, kami harus membayar terlebih dahulu menggunakan mesin. Tidak hanya membayar, tetapi juga untuk memesan makanan yang kami inginkan. Alhasil setelah kami mencoba berulang kali selama +- 10 menit, kami belum juga berhasil menaklukkan mesin tersebut, karena seluruh tulisan pada mesin tersebut berbahasa Jepang! Jadi, kami tidak jadi makan di tempat tersebut T_T

Perlu diketahui bahwa di Jepang, hampir semua kedai makanan baik kedai besar maupun kedai sederhana menggunakan mesin bayar-pesan.

Setelah kejadian konyol, memalukan, serta menyedihkan tersebut, kami selalu mencari makanan yang tidak hanya sesuai dengan selera kami, tetapi terutama juga tidak menggunakan mesin bayar dan pesan. Mesin bayar-pesan menjadi momok kami bedua, selama 2 hari pertama di Jepang. Dasar, Ndeso!

e-Paspor ke Jepang

Pada 27 Oktober 2017 - 5 November 2017, saya akan berangkat untuk berlibur ke Jepang. Sebenarnya liburan kali ini saya bergabung dengan rombongan teman semasa kuliah (sebut saja NK) beserta teman-teman kantornya. Namun karena satu dan lain hal, secara mendadak teman-teman NK membatalkan rencana ke Jepang, 2-3 bulan sebelum keberangkatan dengan alasan yang beragam. Singkat cerita, dari rencana awal total ada 5 orang, hanya saya dan NK yang berangkat ke Jepang.

Setelah membeli tiket pesawat Garuda untuk pulang pergi (Jakarta-Narita-Jakarta) seharga IDR 6.6jt, saya melakukan perpanjangan paspor. Saya memperpanjang paspor menggunakan e-paspor. Selain tujuan mendapatkan paspor dengan teknologi terkini, saya juga mengetahui kegunaan lainnya yaitu tidak perlunya visa Jepang apabila menggunakan e-paspor. Cukup izin berlibur saja. Harga pembuatan e-paspor +- 600rban dengan jangka waktu pembuatan 3 minggu di imigrasi Jakarta Barat. Sedangkan izin berlibur ke Jepang diberikan cuma-cuma oleh Kedubes Jepang (saat ini pengurusan visa atau izin berlibur dilakukan di Ciputra World Shopping Avenue). Izin tersebut diterbitkan hanya satu hari sejak pengajuan, dan kita diperbolehkan maksimal berada di Jepang selama 15 hari kalender berturut-turut, selama kurun periode 3 tahun sejak izin terbit kita bebas ke Jepang kapan pun asalkan tidak melebihi 15 hari.


Dibandingkan dengan NK yang masih menggunakan paspor konvensional sehingga masih harus mengurus visa seharga +- IDR 350rb, saya merekomendasikan lebih baik membuat paspor baru ataupun memperpanjang paspor menggunakan e-paspor.