Banyak sekali rekan-rekan Indonesia yang merekomendasikan kepada teman saya - NK agar mencicipi Gyokatsu Motomura. Kata mereka, Gyokatsu Motomura merupakan makanan makanan wajib. Begitu keterangan NK kepada saya. Akhirnya kami tanya si mbah gugel untuk mengetahui lokaso tempat makam tersebut, dan karena kami sedang berada di Shibuya, kami menjangkau Gyokatsu Motomura di daerah tersebut. Setelah berjalan kaki selama +- 12 menit di bawah guyuran hujan, tibalah kami di kedai tersebut.
Dari luar kedai tersebut terlihat cukup kecil, dan tidak mampu menampung semua calon pembeli. Hal tersebut terlihat dari antrian calon pembeli yang mengular sampai keluar kedai. Sore itu kondisi hujan (bukan gerimis), kira-kira pukul 7 malam waktu jepang. Namun para calon pembeli tetap setia mengikuti antrian dengan payung di atas kepala. Setelah +- 15 menit mengantri tanpa kejelasan informasi apapun, tibalah sang pramuniaga menghampiri calon pembeli yang sedang antri satu per satu dan sampailah pada kami. Ia menginformasikan kepada saya dan NK bahwa waktu tunggu adalah 1 jam 10 menit, serta menyakan kesediaan kami menunggu. Tanpa pikir panjang, NK langsung mengiyakan dan melanjutkan dengan pemesanan menu yang sebelumnya sudah disiapkan.
Di sisi lain, mendengar jawaban tersebut saya langsung menelan ludah di tengah udara dingin dan cuaca hujan di Shibuya. Saya menoleh melihat raut wajah NK yang yakin, tegas, dan lapar. Pada saat itu, saya tak lagi mempunyai kekuatan untuk berargumen lebih lanjut agar kami mencari tempat makan lain. Ditambah lagi, pengalaman mengatakan tidak ada yang mampu melawan keyakinan orang yang sedang lapar saat memesan makanan yang diinginkannya, setidaknya begitu pikirku saat itu. Jadi saya diam dan menunggu tanpa juga mengeluh. Namun kelelahan tak lagi dapat membohongi keadaan, karena kami sangat lelah setelah berjalan kaki seharian mengitari beberapa objek wisata tanpa henti.
Setelah 1 jam 10 menit, belum ada tanda-tanda kami masuk kedai. Memang antrian semakin berkurang, akan tetapi kami belum juga bisa mendekat ke pintu masuk kedai. Baru setelah 1 jam 30 menit akhirnya kami dipersilakan masuk, dan saya menghitung bahwa hanya terdapat meja dan kursi sebanyak 10 buah yang dapat diisi pengunjung dengan jumlah yang sama. Sedangan kedai tersebut tidak melayani bungkus dan bawa pulang (take away). Singkat cerita, makanan disajikan. Nasi putih, kuah sup, sayur, daging katsu yang siap dipanggang, kecap asin, serta bumbu seperti bawang putih dengan campuran lainnya. Kemudian sang koki menjelaskan cara memakan makanan tersebut, yaitu dengan cara dicocol dengan kecap asin dan bumbu, kemudian dipanggang. Dan hasilnya adalah, kenikmatan yang sempurna tiada tara. Gabungan hasil dari kelelahan, kelaparan, keteguhan, dan tentunya kesabaran. Semua terbayar lunas!
Oh ya, hal unik lainnya di Jepang, seluruh minuman dari tempat makan yang saya singgahi selalu menyediakan air putih ditambah es batu, atau setidak-tidaknya air dingin sebagai sajian minuman. Ada yang bisa membantu jawab kenapa? Tentunya ini sangat kontras dengan cuaca di luar cukup dingin (musim gugur), yaitu +- 15 derajat celcius.