Tuesday, March 13, 2018

14 Tahun

"Sebentar dong ky..., kamu gak sabaran banget sih jadi anjing." ucapku pada Pocky setiap kali kami hendak berjalan-jalan keliling komplek rumah.

Awal Jumpa
Kebersamaan kami sudah terjadi kurang lebih 14 tahun, sejak Pocky berumur 2 minggu. Masih lekat dalam ingatku bagaimana pertemuan kami pertama kali. Seorang teman kelas waktu SMA - Tami, menawarkan seekor anak anjing padaku. Ia tahu bahwa aku sudah berteman dengan beberapa anjing sejak dini, dan kebetulan saat itu aku sedang "single" alias tidak memiliki anjing. Jadilah aku menerima tawaran baiknya. Pada hari yang sudah ditentukan, aku bersama seorang kawan lain - Vicky yang dijanjikan seekor anak anjing juga, janjian ketemu di sekolah sebagai meeting point. Tanpa diduga, Vicky datang bersama seorang supir menaikki mobil buntung, memang yang kuketahui usaha orang tuanya adalah usaha bahan bangunan. Singkat cerita, kami bertiga duduk di depan dan berangkat ke rumah teman si pemberi anjing. Setelah haha hihi sejenak, kami membawa pulang masing-masing seekor anak anjing yang diangkut dengan kardus terbuka. Kedua anak anjing tersebut sangat lincah dan aktif bergerak juga bersuara, tetapi belum bisa menggonggong layaknya anjing dewasa. Persoalan belum selesai karena Vicky berbaik hati mengantarku dan anjing baruku (waktu itu belum punya nama) ke rumahku. Namun, apabila kami meletakkan kedua anjing tersebut di belakang, kami khawatir bahwa anjing tersebut memiliki potensi melompat ke jalanan tanpa pikir panjang. Maklum saja layaknya anak-anak anak anjing yang berumur 2 minggu tersebut masih senang-senangnya main-main dan mencoba hal-hal baru. Seketika itu juga, Vicky tersadar bahwa membawa mobil buntung bukanlah keputusan yang tepat. Akhirnya, ia meminta supirnya yang duduk di belakang. Berangkatlah kami dari daerah Galaxy, Bekasi Selatan menuju Tytyan Indah, Bekasi Barat - rumahku. Begitulah awal pertemuan kami.

⦽⦽⦽

Piko Pocky
Setelah anjingku di rumah, keributan melanda rumah, karena nama yang kuusulkan "Piko" tidak mencapai kuorum. Padahal nama tersebut sudah kucari, kupikirkan, kutimbang dengan matang. Papi mami mempunyai pertimbangan lain, apabila nama anjing itu Piko, maka akan dipanggil "ko.., ko.., piko.., sini..." Panggilan tersebut akan menyaru dengan panggilan adik sepupuku yang tinggalnya di seberang rumah, Rico, biasanya ia dipanggil "iko atau ko" saja. Memang ada 2 huruf yang berbeda dari kedua nama itu, tetapi pada praktek pelafalannya hanya 1 huruf yang berbeda yaitu pada huruf awalan P pada Piko dan R pada Rico. Aku mengalah, dan memilih nama Pocky. Semua sepakat (Papi, Mami, Helen, Helsa) tanpa perlawanan lebih jauh.

⦽⦽⦽

Menonton Saja
Aku tidak mempersiapkan kedatangan Pocky dengan baik, aku belum beli makanannya. Jadi setelah tiba di rumah, aku pergi ke pasar untuk membeli daging giling. Namun nampaknya Pocky masih murung dan bersedih. Ia perlu waktu lebih untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, di rumahku. Ia masih meringkuk di pojok taman dengan muka masam dan tak bergairah. Mungkin ia merasa kesepian setelah berpisah dengan ibu kandungnya, dan juga saudara-saudara kandungnya yang satu per satu dibagikan kepada orang-orang. Perasaan kesepian yang bisa kurasakan dan kumaklumi. Tidak sampai satu hari penuh, kami sudah mulai akrab. Ketika kupanggil, ia akan datang. Ketika aku berlari, ia akan mengekor di belakang. Senyum mulai mengembang di wajahnya, dan tentunya wajahku juga. Pocky sudah mulai mau makan daging giling bercampur dengan nasi hangat yang kuracik sendiri. Namun memang makannya belum banyak dan lahap, aku pikir mungkin terlalu cepat buat anjing seusianya (2 minggu) untuk menyantap daging. Setelah kutanya kepada Tami, memang selama ini Pocky dan anak anjing lainnya diberikan makanan kering. Aku putuskan untuk mengkombinasikan ketiga makanan tersebut, nasi, daging giling, dan makanan kering.

Biasanya, aku selalu menungguinya makan sampai selesai. Namun kali itu, aku sedang agak sibuk dengan PR sekolah. Jadi setelah aku menuangkan makanannya, ia makan, dan kutinggal. Berselang 5 menit, aku mengintip dari jendela kamar ke halaman tempat Pocky makan. Alangkah kagetnya aku, karena yang sedang makan makanan tersebut adalah seekor kucing. Aku tidak langsung bergegas ke halaman, tetapi kuamati kucing itu menikmati makan tersebut, lalu aku juga mencari dimana Pocky berada saat itu. Aku lebih kaget lagi ketika melihat bahwa Pocky sedang menonton kucing itu makan dari jarak aman. Aku benar-benar geli terpingkal-pingkal. Di halaman, aku berdiri di tengah antara kucing yang sedang asyik makan dan Pocky yang menonton saja, dan aku berkata kepada Pocky, "Ayo Pok sini, jangan diam saja..Itu makananmu sedang dicuri." aku mendekat ke arah kucing, kemudian memanggil Pocky untuk mendekatiku, tetapi Pocky terlihat tidak percaya diri datang ke arahku. Setelah aku panggil beberapa kali mencoba meyakinkannya, tetapi hasilnya tetap nihil. Akhirnya kuusir kucing itu dengan paksa. Setelah itu, aku mengusap-ngusap kepala Pocky sambil berpikir, memang benar bahwa secara postu Pocky kecil kalah jauh dari kucing dewasa itu. Namun aku yakin, Pocky akan tumbuh besar dan menjadi anjing kuat suatu hari nanti.

⦽⦽⦽

Adik Kandung
Suatu kali, Tami mengirimkanku pesan singkat yang intinya ia ingin menitipkan anjingnya kepadaku karena ia hendak berlibur ke Singapura selama 4 malam. Anjing yang dititipkan kepadaku tidak lain tidak bukan adalah saudara kandung Pocky. Lebih tepatnya adik kandung, karena Pocky adalah anak sulung. Aku mengiyakan terhadap permintaan tolong dari Tami. Singkat cerita, Tami datang bersama kedua orangtuanya bersama anjing tersebut. Namanya Kiko. Tak lupa, Tami dan mamanya juga bertemu kangen dengan Pocky. Alangkah kagetnya mereka melihat Pocky karena perawakannya berbeda jauh dengan Kiko yang saat itu masih terlihat anak-anak. Pocky terlihat lebih dewasa. Tidak hanya perawakan, tetapi juga dari segi postur, Pocky terlihat lebih kekar, tegap, tinggi, dan besar. Padahal umur Pocky dan Kiko sama, yaitu sekitar 3 bulan pada waktu itu.

Tami menitipkan 1 bungkus makan kering dan 2 kemasan besar susu cair untuk Kiko yang dititipkan kepadaku. Setelah Tami dan keluarganya meninggalkan rumahku, Pocky dan Kiko sangat akrab bermain. Mungkin mereka saling berkangen ria setelah 2 bulan tak bertemu, begitu lamunanku terhadap interaksi mereka berdua. 

Hal yang sangat menarik bagiku adalah ketika aku memberikan mereka makan, maka Pocky akan makan dengan sangat bersemangat seakan 2 hari belum makan. Sedangkan Kiko akan makan dengan perlahan dan sedikit anggun. Begitu halnya ketika aku menuangkan susu segar, Pocky akan minum dengan sangat lahap sampai tidak ada lagi setetes pun sisa susu pada tempat minumnya. Sedangkan Kiko minum dengan santai dengan menyisakan susu sedikit pada tempat minumnya - mirip kalau kita minum teh botol tapi gak dihabisin, tapi sisa dikit. Nah, sisa susu Kiko yang kemudian akan "dibersihkan" oleh Pocky. Aku sendiri bertanya-tanya, mengapa Kiko berkarakter seperti ini. Apakah ia kurang bersyukur atas berkat yang diberikan padanya? atau ia masih jaim di rumahku? Entahlah. Tapi yang pasti, Inilah jawaban mengapa Pocky tumbuh lebih cepat dari Kiko.

⦽⦽⦽

Pepaya
Pocky memiliki keunikan yang jarang dimiliki anjing lain, yaitu dia pemakan segalanya layaknya manusia. Dari tiga anjing lain sebelumnya yang pernah aku asuh, hanya Pocky yang doyan makan buah dan sayur. Tentu hal ini tidak serta merta aku memberikan buah dan sayur secara sembarangan. Aku cukup menyeleksi ketat apa yang masuk ke tubuhnya. Apabila sayur, maka akan kucuci dulu agar terhindar dari bumbu-bumbu dan rasa asin garam agar bulunya tak rontok. Apabila buah, maka kupastikan tidaklah buah yang mengandum asam berlebihan seperti jeruk atau nanas. Awalnya, aku juga tidak pernah memperhitungkan bahwa anjing akan menyukai sayur dan buah, tetapi aku mengamati pada saat Pocky pup, ia memerlukan usaha ekstra untuk memfinalisasi prosesnya. Jadi, aku berinisiatif memberinya pepaya yang secara kebetulan sedang ada di kulkas rumah. Aku tidak langsung serta merta memberinya pepaya, tapi aku memakan pepayanya terlebih dahulu di depan matanya. Beberapa potong pepaya kumakan secara perlahan, aku pejamkan mataku untuk menggambarkan kenikmatan buah pepaya segar nan manis ini kepadanya. Ia tampak memandangku dengan seksama. Setelah potongan kesekian, barulah ia mendekatiku sambil sesekali mengusapkan lidahnya ke sekeliling mulutnya dan setelah itu menjulurkan lidahnya dengan tatapan memelas sambil duduk tegak di depanku persis, sebuah tanda familiar yang sering kuamati. Dengan tatapannya, Aku tahu bahwa tekadnya sudah bulat untuk meminta dan makan pepaya itu, dan benar saja, ketika kuberikan satu potong pepaya, ia langsung menyantapnya tanpa ragu dan pikir panjang.

Buah pepaya bukanlah buah favorit di keluarga kami. Keberadaannya tidaklah sering, dan hanya sesekali saja. Menjadi PR bagiku ketika buah itu sudah menjadi buah favorit Pocky, tetapi sering absen dari jadwal makannya. Kalau aku membeli buah pepaya utuh di pasar, aku malas mengupas, membersihkannya, memotong-motongnya. Akhirnya, aku menemukan tukang rujak keliling. Aku selalu membeli buah pepaya potong dingin paling tidak seminggu 1x. Tidak ada masalah, pocky tetap suka juga.

Suatu kali, saat hendak membeli pepaya potong pada abang rujak langganan, si abang bilang, bahwa semua pepaya yang ada padanya pepaya yang agak muda. Jadi agak garing dan tidak terlalu manis rasanya. Aku pikir, tidak masalah untuk membeli pepaya muda tersebut karena sudah hampir sebulan aku tidak membelikan pepaya untuk Pocky. Dan sesampainya di rumah, setelah membuka plastiknya aku memberikan potongan pepaya itu kepada Pocky. Aku tinggal ke dalam rumah, dan merasa tidak perlu melakukan monitor terhadap aktivitas makan pepaya karena sudah terjadi entah berapa kali, mungkin puluhan kali dan sudah menjadi rutinitas. Namun beberapa jam kemudian, ketika kuamati aku terkaget karena tidak seperti biasanya pepaya ludes tanpa tersisa, kali ini pepaya tersebut tersisa rapi selayaknya sisa potongan semangka setelah orang makan. Aku tertawa sambil mengusap-usap kepala Pocky, dalam benakku - ia memang anjing cerdas....

⦽⦽⦽

Nasi Goreng untuk Orang Sakit
Hampir setiap tahun, ada suatu kebiasaan di keluarga kami, yaitu berlibur bersama. Biasanya jadwalnya setiap libur lebaran. Kami akan berlibur selama 8-10 hari. Kepergian kami selama kurun waktu tersebut, berakibat aku harus menitipkan Pocky kepada temanku yang tidak berlibur di waktu yang sama. Oh ya, sebelumnya harus kusampaikan, bahwa Pocky dididik menjadi anjing penjaga, sehingga ia tidak cukup ramah terhadap orang asing - sehingga menitipkannya ke tempat penampungan anjing tidak menjadi opsi bagiku. Jadi selain harus menitipkan kepada teman, syarat lainnya adalah teman tersebut harus kuat-kuat sama anjing galak. Tantangannya menjadi ganda. Beruntungnya aku mempunyai teman karib yang juga baik hati, Martin. Ia rela, memberikan Pocky makan setiap harinya dengan mampir ke rumahku, dengan cara melemparkan makanan lewat pintu pagar. Tentang air minum, aku sudah mempersiapkan 8 ember berisi air yang kuisi penuh dan kuletakkan tersebar di sekujur halaman rumah.

Sebelum berangkat, aku menitipkan makan kering yang sudah kuoplos ke dalam kantong-kantong kecil yang sudah kutakar dengan jumlah plastik sejumlah hari kepergianku. Kegiatan yang jamak kulakukan bertahun-tahun saat kami sekeluarga berlibur tahunan. Namun pada masa liburan kali itu, suatu kali martin mngirimkan pesan singkat yang kurang lebih demikian, "Ted, si Pocky kayaknya gak nafsu makan. Soalnya makanan yang kemarin  dan kemarinnya lagi gue kasih belum dimakan." aku pun yang sedang  berlibur menjadi tidak nyaman membaca pesan tersebut. aku takut kalau-kalau Pocky sakit. Aku kemudian membalas pesan Martin demikian, "Tin, kira-kira si Pocky lemes gak? Apa tetep seger? Bisa minta tolong, lo beliin nasi goreng, jangan pake sambel, garem, mecin, dan kecap." Martin membalas lagi, "Kalo gue liat si seger, cuma mungkin bosen aja. Oke, nanti sorean nasi gorengnya nanti gue beliin sesuai yang lo bilang." Beberapa jam kemudian, Martin mengirimkan pesan lagi, "Ted, gue udah kasih nasgornya, langsung dimakan sama Pocky." Menerima pesan tersebut, aku senang bukan kepalang. Bahkan rasanya setara dengan liburan yang sedang kujalani. Aku membalas, "Hehehe. Oke tin, tengs a lot ya.. Lusa gue balik, nanti gue mampir ke rumah lo."

Jadilah nasi goreng tanpa sambal, garam, penguat rasa, dan kecap, adalah makanan lain favorit Pocky. Namun untuk nasi goreng aku tidak reguler seperti pepaya, hanya sekali-sekali saja. Pernah suatu kali kubelikan Pocky nasi goreng semacam ini, abang nasi goreng tek-teknya bertanya, "Kok gak pake sambel, garem, mecin, dan kecap? Buat orang sakit ya Mas?", aku hanya tersenyum. 

⦽⦽⦽

Melewatkan Kebaktian Malam Tahun Baru
Malam itu adalah malam tahun baru, seingatku malam menjelang tahun 2010. Aku yang menjadi panitia Natal dan Tahun Baru di gereja, datang lebih awal selayaknya panitia lainnya. Sebelum acara dimulai, seorang teman menyapaku kemudian berkata, "Ted, gue tadi lewat depan rumah lo, kayaknya si Pocky kabur deh, terus bokap lo mau nangkep tapi susah." Mendengar informasi tersebut, aku tidak langsung pulang. Aku tetap fokus menyelesaikan seluruh tanggung jawabku. Namun setelah selesai mempersiapkan berbagai hal, aku memutuskan untuk meninggalkan gedung gereja dan pulang. Benar saja, Pocky kabur dan belum pulang juga. Aku sempat sedikit marah pada Papi mengapa Pocky bisa kabur, padahal selama bertahun-tahun aku mengasuhnya belum pernah aku melihat niatannya untuk kabur dari rumah. Aku bertanya-tanya, apakah ia ada janji bertemu dengan anjing perempuan di malam tahun baru ini, ataukah ada acara barbeque di rumah temannya. Kalau saja ia minta izin kepadaku, pastilah aku akan memberikan izin kepadanya. Toh, ini malah tahun baru.

Setelah menunggu setengah jam lebih dan tidak ada tanda-tanda Pocky pulang, akhirnya aku keliling komplek rumah dengan sepeda motorku. Aku mencarinya di kegelapan malam, tanpa tahu jejaknya. Sesekali aku bertanya kepada orang di jalan. Namun tidak ada petunjuk. Aku terus mencari sambil memanggil-manggil namanya, semua gang aku telusuri. Setelah hampir satu jam memutari area komplek yang cukup luas, aku menemukannya sedang santai mengendus rerumputan di pinggir sebuah jalan sepi. Aku memanggilnya, "Pocky!" dan ia menoleh, aku tersenyum. Aku turun dari motorku, mengalungkan tali ke lehernya dan mengajaknya pulang. Kami pulang bersama. Sesampainya di rumah, aku masih berniat ikut kebaktian malam tahun baru, tetapi sayangnya kebaktian telah usai. Tak kusesali keputusanku melewatkan kebaktian malam tahun baru itu, karena telah menemukan kembali Pocky.

⦽⦽⦽

Sahabat Setia
Belum lama ini papi membeli daging babi hutan melalui daring sebagai apresiasi kepada Pocky yang selama ini selalu makan makanan kering. Si penjual mengantarnya sendiri, kemudian saling bercerita tentang anjing kami masing-masing. Ia sangat terkejut ketika aku bilang bahwa anjingku memasuki usia 14 tahun di 2018 ini. Ia berkomentar, "Wah, hebat...panjang umur sekali anjing kamu.."

Aku bersyukur kepada Tuhan, dalam 14 tahun ini kita bisa bersahabat baik. Berbagai kegembiraan dan masalahku acapkali kuutarakan kepadamu dengan keyakinan bahwa engkau adalah sahabat yang juga merupakan salah satu penjaga rahasia terbaik di bumi ini yang pernah kukenal. Aku yakin semua ceritaku akan kau simpan rapat dan tidak akan kau ceritakan kepada siapapun. Meskipun aku juga tak tahu apabila engkau sesekali menceritakannya kepada anjing-anjing tetangga sekitar rumah saat aku di kantor. Pantas saja, akhir-akhir ini aku merasa tatapan anjing-anjing tetangga kepadaku agak berbeda dari biasanya. Tapi, kepercayaanku kepadamu tetaplah tak berkurang. Semoga anjing-anjing tetangga tersebut, tak menyebarkan ceritanya lagi kepada tuan-tuan mereka. Biarlah cerita-ceritaku berhenti di kalangan anjing-anjing tetangga saja, aku ikhlas untuk ini.

Surat ini akan kubacakan kepadamu di tepat di usia ke-14 pada hari ulang tahunmu nanti - 21 September, sehingga engkau dapat mendengarnya dengan seksama dan mengerti akan kasihku kepadamu. Karena kutahu, engkau belum juga fasih membaca meskipun usiamu sudah 14 tahun. Tenang saja, aku memakluminya.
Terima kasih Pocky, atas semua hal yang kita lalui bersama, semoga di tahun anjing ini kamu menjadi anjing yang lebih baik lagi. Aku tahu, aku bukanlah sahabat yang selalu ada untukmu. Aku bukanlah pengasuh terbaik untukmu. Tapi aku berjanji, aku akan selalu merawatmu dan persahabatan kita akan selalu kujaga sampai salah satu dari kita mati. Sekian.





Saturday, March 10, 2018

Harta Benda Bisa Dicari

Siang itu aku sedang tidak ada kuliah. Aku yang sedang santai di rumah mendapatkan SMS dari Helsa yang minta dijemput di stasiun kereta Kranji. Bergegaslah aku menuju stasiun dengan sepeda motor. Helsa, yang ingin pulang lebih awal ke rumah memilih naik kereta sendiri dari daerah sekolahnya di Penabur Gunung Sahari Jakarta, daripada harus menunggu Helen yang harus mengikuti bimbel sekolah. Padahal apabila pulang bersama-sama Helen, Helsa tinggal duduk manis di mobil yang dikendarai supir. Memang tidak memungkinkan supir bolak-balik Jakarta-Bekasi untuk memenuhi semua keinginan karena keterbatasan waktu akibat kemacetan ibukota. Singkat cerita, aku menjemput adik kecilku itu yang waktu itu masih duduk di bangku kelas 6 SD. Perjalanan rumahku ke stasiun tidaklah jauh, mungkin hanya sekitar 10 menit bolak-balik bila melalui jalan tikus. Setelah Helsa duduk di kursi belakang motor, kami langsung berangkat ke arah rumah. Dari kejauhan aku sudah mengamati terdapat asap hitam membumbung lurus dari bawah ke atas, tanpa berpikiran macam-macam aku terus fokus mengendarai motor. Namun semakin dekat arah kami ke rumah, asap tersebut juga makin dekat dengan kami. Benar saja, rumah tetangga sebelahkulah sumber asap itu.

Sontak, turun dari motor, aku meneriaki tetanggaku tersebut. Celakanya asisten rumah tangganya baru tersadar ketika aku memberitahu bahwa bagian ujung rumah yang menjadi arena berdoa tetanggaku sedang disatroni api dengan cepatnya. Setelah memasukkan motor dan meminta Helsa masuk ke dalam rumah, aku mengisi air keran ke dalam ember sambil menelpon papi. Suaraku agak bergetar karena aku cukup panik, "Pap, rumahnya Tante Dewi kebakaran!". Sedangkan papi cukup tenang dan bilang, "Nanti Papi telepon pemadam kebakaran, kamu bawa aja semua dokumen yang ada di lemari kamar papi." Aku mengiyakan perintah papi, dan kembali bertanya, "Itu aja Pap yang dibawa?" dan kembali dijawab, "iya itu aja." Tak terasa ember sudah penuh dengan air, aku pun mengakhiri pembicaraan itu, dan bergegas menyiramkan air ke rumah tetanggaku. Namun setelah lari beberapa langkah, aku menyaksikan bahwa api yang tadinya hanya setinggi betisku, kini sudah menyamai tinggi badanku. Dengkulku lemas seketika menghadapi api yang cepat meninggi ini. Belum lagi hawa panasnya yang menyengat kulit dan mataku saat kudekati, ember berisi air yang kuisi tidak ada apa-apanya melawan api semacam ini. Aku tinggalkan ember berisi air itu, tanpa pernah menyiramkannya. Aku berlari kembali dalam ke rumah, mengangkut semua dokumen-dokumen di lemari kamar kedua orang tuaku. Helsa panik dan hampir menangis, sementara Pocky terus menggonggong tanpa henti. Di luar sudah terdengar kesibukan para tetangga sekitar yang berkemas dan warga lain yang hendak menolong. Begitu mencengkeramnya suasana siang itu.

Semua dokumen selesai kumasukkan ke dalam 2 tas besar, satu kupanggul di bahu kanan, dan satu di bahu lainnya. Selain dompet dan handphone, aku membawa laptop dan beberapa dokumen yang  terkait perkuliahanku, semua benda tersebut kupanggul dengan tas punggung. Lengkap sudah semua harta benda yang kubawa. Tangan kananku menggenggam lengan Helsa, tangan kiriku menggendong Pocky. Kami keluar rumah dengan langkah mantap.

Di luar kondisi sudah sangat ramai, hampir semua orang tidak kukenal atau memang aku sudah tidak fokus mengenali orang, aku tak tahu. Tiba-tiba seorang teman gereja menghampiriku lebih dulu, "Ted.." panggilnya, aku menoleh dan langsung berkata kepadanya, "Gun, gue titip Helsa sama 2 tas ini ya.." Anggun mengangguk, menerima 2 tas besar dan super berat terus menggandeng Helsa. Perlahan mereka menghilang di kerumunan orang. Sedangkan aku masih berada di depan rumah, sambil mengamati dan was-was apakah api akan mampir ke rumahku juga. Pada saat itu, angin bertiup cukup kencang, sehingga api berbelok ke kanan dan kiri secara liar. Aku sendiri sudah siap mental dan pasrah apabila api juga melahap rumahku. Dalam lamunan itu, seorang teman kuliah yang tinggal tidak jauh dari rumahku juga menghampiriku, "Ted.." sapanya singkat, "Eh Re, gue boleh nitip laptop dan tas gue?" Regina mengangguk sambil menerima tas punggungku. Tak lama berselang, seorang teman lain kutahu juga memelihara anjing menghampiriku, jadi aku menitipkan Pocky padanya. Aku pun masih serius mengamati rumah tetanggaku dan tentunya rumahku. Di tengah waktu tersebut, beberapa orang yang mengenalku bertanya kepadaku, "kok kamu gak ngeluarin barang-barang?" Pertanyaan yang masuk akal, karena tetangga lainnya bahkan yang berbeda dua rumah, tiga rumah, bahkan seberang jalan, super sibuk mengungsikan berbagai macam harta benda mereka. Sedangkan rumahku yang jelas-jelas persis di sebelah rumah yang tebakar nampak adem ayem. Pertanyaan tersebut tidak hanya ditanyakan satu-dua orang, tetapi menjadi pertanyaan favorit kepadaku saat itu. Aku pun selalu menjawab sama, "Iya gak apa-apa, biarin aja..." Sebenarnya bukannya aku takut, atau tidak mau berusaha. Tapi aku hanya sendirian, tidak ada mobil di rumah, dan tidak ada yang membantu jika aku harus mengungsikan barang-barang, dan aku juga tidak tahu harus mengungsi kemana saat itu, di tengah lautan manusia yang menonton dan sebagian kecil menolong.

Akhirnya pemadam kebakaran mampu memadamkan kebakaran di rumah tetangga sebelahku. Papi mami yang pulang kantor lebih awal juga sempat menyaksikan prosesi pemadaman api. Namun sayang, rumah tetanggaku tidak tertolong. Semua habis dilalap si jago merah. Papi mencoba membesarkan hati Om Sofyan (almarhum, saat tulisan ini di publikasikan), suami Tante Dewi. Papi bilang, "Yang penting semua selamet pak, anak-anak sehat semua. Harta bisa dicari lagi..." Om Sofyan mengiyakan meskipun tetap ada rasa kehilangan pada raut wajahnya. Aku bersyukur tidak ada korban jiwa dalam insiden ini, semua selamat. Aku juga bersyukur selalu ada sesama yang menolong kita di saat tak terduga, baik tetangga, teman, ataupun petugas pemadam kebakaran. Aku juga bersyukur aku masih punya tempat tinggal. Setelah kurenungi semalam panjang, aku seperti tidak percaya apa yang aku alami hari itu. Jika saja rumahku terbakar juga, maka motor, pakaian, kamera digital, koleksi jam tangan, playstation, TV, gitar, dan masing banyak lagi, semua akan menjadi debu seketika. Semakin aku menginventarisasi barang-barang dan harta benda tersebut, semakin aku tidak bisa tidur. Benar kata papi, bahwa harta bisa dicari, yang paling penting semua selamat. Sekian.

Sunday, March 4, 2018

Adik-Adik Perkasa


Mempunyai dua adik perempuan, otomatis mempertegas kodrat ilahi bahwa aku harus mengambil peran sebagai pelindung kedua adikku. Ditambah lagi statusku sebagai anak laki-laki sulung dalam keluarga.

Helen adik pertama, memiliki keuletan belajar yang lebih dari antara kami bertiga. Aku masih mengingat betul, pada masa kuliahnya bagaimana ia belajar dan mempersiapkan diri dalam setiap ujian yang akan ia hadapi. Buku-buku pelajarannya sangat tebal, dan ia selalu membawa beberapa koper (berisi buku pelajaran) sekaligus untuk menghadapi ujian. Ia telah lulus untuk mendapatkan gelar sarjana farmasi dan juga gelar profesi apoteker. Tidak sekadar lulus, nilai kelulusannya sangat memuaskan karena ia lulus dengan status cum laude. Saat ini ia memiliki karir yang baik di salah satu perusahaan farmasi terbesar di Indonesia. Di sisi lain, sesekali ia juga gemar bermain piano meskipun tidak mencapai tahap mahir.

Lain halnya dengan Helen, Helsa memiliki kemampuan dan sifat yang unik. Helsa memiliki IQ yang lebih tinggi dari aku dan Helen, kecerdasannya sudah dibuktikannya sejak ia masih dini yaitu puncaknya ditandai dengan dinobatkannya Helsa menjadi juara umum SD se-Penabur di Jakarta. Buatku, prestasi tersebut tidak bisa dianggap remeh temeh. Di rumah kami, berjejer piala-piala yang pernah ia raih di berbagai bidang dari mulai pendidikan, seni, olahraga, dan lain-lain. Namun memasuki jenjang SMP prestasi akademisnya tidak segemilang saat SD. Ia justru lebih berfokus pada sisi sosial dengan aktif di OSIS dan menjadi Ketua OSIS, serta tim inti basket SMP, begitu juga  saat SMA – menjadi Ketua OSIS dan tim inti basket SMA. Piala tetap singgah di rumah, namun semuanya berasal dari prestasi olahraga. Saat ini, Helsa adalah mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri top di Bandung dengan jurusan komunikasi, yang dicapainya berkat statusnya sebagai aktivis OSIS dan juga prestasi basket.

Ringkasnya, Helen tipikal pembaca buku, pembelajar ulet, kaku, dan juga pengagum berat Doraemon, Helsa tipikal yang senang bersosialisasi, kurang disiplin, selalu ketinggalan barang, namun mempunyai minat dalam berbagai olahraga.

Aku sendiri merasa, ada beberapa kesamaan diriku dalam kedua adikku. Aku pembaca buku (meskipun tidak banyak-banyak amat buku yang kubaca), cukup disiplin, senang berbagai macam olahraga, dan kadang suka bersosialisasi. Namun kalau diadu akademis dan persoalan belajar, Helen pasti mengalahkanku. Sedangkan kalau diadu kecerdasan (IQ) dan banyak-banyakan teman, jelas bahwa aku juga akan kalah oleh Helsa. Sesekali, aku merasa inferior terhadap kenyataan ini. Namun satu yang bisa kulakukan untuk menutupi kekuranganku dibandingkan kedua adikku, yaitu soal persiapan. Aku selalu mempersiapkan berbagai hal yang akan kulakukan, apapun itu,  sebagai bentuk kompensasi karena aku tidak seulet Helen dan secerdas Helsa, maka aku harus membuat persiapan yang lebih baik dengan berharap hasilnya akan baik pula. Terkait dengan persiapanku, aku akan menuliskannya pada tulisan lain.

Beberapa bulan lalu, suatu kali sepulang ibadah minggu, kami sekeluarga makan siang bersama di suatu mall di Jakarta. Setelah makan siang usai, aku, Helen, dan Helsa memilih untuk tidak langsung pulang karena kami hendak jalan bersama di mall itu. Sedangkan papi mami memilih pulang terlebih dahulu karena ada acara lain. Kami bertiga keliling mall melihat-lihat sekujur mall, dan spontan pilihan kami jatuh pada Timezone. Setelah mengisi voucher, kami mulai memilih permainan yang menjadi kompetisi diantara kami bertiga. Masih lekat dalam ingatanku, aku cukup bersemangat terhadap kompetisi ini. Namun tidak sampai memacu adrenalin selayaknya aku menikmati permainan futsal. Berbagai permainan kami pertandingkan bertiga, mulai dari ketangkasan memencet tombol dan layar, olahraga basket, tembak menembak, balapan mobil, motor, dan lain-lain. Total, belasan permainan kami habiskan. Di tengah kesibukan kami masing-masing, menghabiskan kebersamaan yang kurang lebih hanya dua jam, tentunya waktu tersebut sangat berharga dan seru sekali bagiku.

Namun keberhargaan dan keseruan itu juga diikuti dengan perasaan kesal dalam hatiku, karena aku tidak memenangkan satu permainan pun dari belasan pertandingan! Ya, kalau tidak juara dua, juara tiga. Ternyata, asumsiku bahwa aku harus melindungi kedua adikku tidak selalu sepenuhnya tepat, karena ternyata mereka telah tumbuh menjadi adik-adik perkasa.