Semua
Internisti pasti ingat tahun keemasan Inter Milan, yaitu 2009 – 2010, di mana
Inter merebut trebble winners dari
kompetisi Serie A, Coppa Italia, dan Liga Champions Eropa. Yang terakhir
tentunya terasa sangat spesial karena terakhir Inter merasakan gelar tersebut
tahun 1969! Saat itu Inter diarsiteki oleh pelatih legendaris yaitu Helenio
Herrera.
Tidak
lain adalah Jose Mourinho, yang biasa akrab dipanggil Mou, adalah aktor utama
dibalik pencapain tersebut. Mou sukses memberikan ketiga gelar tersebut di
musim keduanya sebagai pelatih! Bandingkan saja dengan Sir Alex Ferguson yang
melatih Manchester United sejak tahun 1986, dan baru meraih trebble winners di musim 1998 – 1999. Tentu
sukses The Special One tidak lepas
dari kejelian, taktik, pemilihan pemain, serta dukungan dari presiden klub dan pendukung
setia Nerazurri.
Pada tahun 2008, selepas
era Roberto Mancini, Presiden Inter Milan, Massimo Moratti menunjuk Jose
Mourinho, yang sejak tahun 2005 berada di Chelsea, untuk menangani skuad La Beneamata. Gayung pun bersambut, Mou
tertarik dengan tawaran Moratti, yang memang sudah haus gelar khsususnya di
kancah Eropa. Sebagai Catatan, Roberto Mancini melatih Inter Milan sejak 2004 –
2008 dengan mempersembahkan 7 gelar! Itu merupakan hal yang sangat baik bagi
karir seorang pelatih. Tujuh gelar tersebut diantaranya, 3 gelar Serie A, 2
gelar Coppa Italia, dan 2 gelar Italia Super Cup. Namun semua gelar tersebut
tidak menyelamatkan Mancini dari pemecatan sang presiden.
Di tahun pertama
kepelatihannya, Mou tidak banyak merombak skuad Inter yang memang sudah padu,
dengan mengandalkan Julio Caesar, Maicon, dan Ibrahimovic. Ketiga bintang
tersebut merupakan aset – aset paling berharga Inter saat itu dan selalu
digadang-gadang akan pindah ke klub lain jika Inter tidak bisa meraih gelar
Liga Champions Eropa. Di musim 2008 – 2009 tidak sulit bagi Inter untuk
mempertahankan gelar scudetto, yang
memang sudah tradisi sejak era Roberto Mancini. Seperti diketahui, dua pesaing
terkuat Inter seperti Juventus dan AC Milan sedang mengembalikan tim mereka ke
jalur juara karena sebelumnya terkena skandal calciopoli atau pengaturan skor yang merusak sepak bola Italia.
Namun kesuksesan di liga
domestik tidak berbanding lurus dengan kesuksesan di Liga Champions Eropa.
Inter lagi – lagi gagal di ajang tersebut, dan kegagalan Inter bukanlah di fase
grup, melainkan di fase 16 besar ataupun perempat final. Prestasi terbaik Inter
di Liga Champions Eropa sebelumnya adalah Semifinalis tahun 2004. Saat itu
Hector Cuper adalah arsitek tim. Namun selepas itu, Inter tidak pernah lagi
berbicara banyak di ajang paling bergengsi di benua biru.
Pada Liga Champions musim
2008 - 2009, Inter kandas di tangan Manchester United di babak 16 besar. Di
partai Home dan Away tersebut,
saya masih ingat bahwa dua kelemahan utama Inter Milan adalah tidak adanya bek
tengah yang tangguh, tidak adanya pemain kreatif yang mampu mengatur alur
permainan, sehingga permainan Inter terlihat begitu monoton karena semua bola
dialirkan ke Zlatan Ibrahimovic dan sesekali Maicon. Hasilnya tentu saja dapat
mudah dipatahkan oleh pemain – pemain Manchester United.
Dengan kejelian Mourinho,
pelatih yang membawa Porto menjadi juara Liga Champions Eropa tahun 2004 serta
membawa Chelsea dua musim berturut-turut menjadi semifinalis, dia sangat
mengetahui kekurangan Inter Milan dan perbaikan yang harus dilakukan musim
selanjutnya. Hal itu terbukti dengan didatangkannya beberapa pemain bintang
seperti, Lucio, Walter Samuel, Christian Chivu, Wesley Sneijder, Samuel Eto’o,
dan Diego Milito di musim 2009 - 2010. Kalau kita perhatikan pemain – Pemain
tersebut adalah skuad inti saat Inter merebut gelar juara LC.
Khusus Samuel Eto’o, ia
dibarter dengan Zlatan Ibrahimovic. Zlatan begitu menginginkan gelar LC Eropa
sehingga ia pindah ke Barcelona, klub yang musim sebelumnya meraih gelar
tersebut dan merupakan langganan juara di pentas LC sejak era Ronaldinho dan
Lionel Messi, yaitu dua pemain terbaik dunia di zamannya masing - masing.
Ironisnya, setelah Zlatan pergi, Inter juara LC yang di semifinal mengalahkan
Zlatan dan Barcelonanya.
Hadirnya Walter Samuel
dan Lucio di sentral pertahanan membuat Julio Caesar menikmati ketenangan
dibandingkan sebelumnya. Sedangkan Maicon tetap tidak tergantian di posisi full back kanan, dan di posisi bek kiri
Sang Kapten, Javier Zanetti dan Chivu bergantian mengisi. Gelandang bertahan
Inter pun tidak kalah lengkap, Esteban Cambiasso, Thiago Motta, dan Dejan
Stankovic kerap mengisi posisi sentral di lini tengah dan mereka tidak perlu
kebingungan dalam mengkreasikan serangan karena mereka “cukup” memberikan bola
kepada trequarista handal, yaitu
Wesley Sneijder. Wesley kerap menjadi penyelamat Inter juga dengan gol-golnya
dari tendangan bebas dan tendangan langsung jarak jauh. Peran Sneijder begitu
sentral, sampai-sampai banyak wartawan dan pelatih menilai Sneijder pantas
menjadi pemain terbaik dunia 2009 dibandingkan Lionel Messei, karena selain
membawa Inter juara LC, dia juga membawa Belanda mencapai partai final Piala
Dunia 2010. Di depan Inter mengandalkan kecepatan Samuel Eto’o dan penyelesaian
akhir dari Diego Milito, serta Pandev yang baru dibeli tengah musim dari Lazio.
Terbukti, sejak babak knock out 16
besar semua lawan dapat diatasi, Chelsea, CSKA Moskow, Barcelona, dan Bayern
Muenchen merasakan dahsyatnya skuad racikan Mou.
Dari berbagai partai yang
dilalui Inter, dua partai yang menjadi sorotan saya adalah saat melawan Chelsea
di 16 besar dan Barcelona di semifinal. Saat melawan Chelsea dengan Carlo
Anceloti sebagai pelatihnya, saat itu banyak orang menjagokan Chelsea. Selain
karena skuad Chelsea yang sudah kompak, pelatih Carlo Anceloti yang sudah 8
musim di AC Milan tentunya sangat mengenal Inter Milan. Namun kenyataan berkata
lain. Sedangkan saat melawan Barcelona Giuseppe Meazza, tanpa diduga-duga Inter
menghempaskan Barca dengan skor 3-1. Sedangkan saat bertanding di Nou Camp,
banyak orang mengatakan Barca akan membalik keadaan. Namun Inter hanya kalah
1-0 dan lolos ke final meskipun bermain dengan 10 orang sejak menit-menit awal
karena Thiago Motta di kartu merah akibat “akting” dari Sergio Busquets. Itu
adalah salah satu partai terbaik Inter di musim tersebut.
Sekian.