Sunday, November 29, 2015

(Mudahnya) Memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM)

Pagi itu adalah Kamis, 19 November 2015. Saya mengambil cuti dari pekerjaan dengan tujuan ingin memperpanjang SIM C yang habis masa berlakunya pada 22 November 2015. Sedangkan SIM A lebih lama setahun dari SIM C.
Perlu diketahui, SIM C dan SIM A saya beralamat Kota Bekasi. Ya benar, bahwa KTP saya pun adalah KTP Kota Bekasi. Namun dalam 3 tahun terakhir, saya mengikuti orang tua pindah ke Jakarta sekaligus mengurus untuk memperoleh KTP Jakarta, sehingga saat ini saya sudah menjadi warga Jakarta.

Beberapa bulan sebelumnya, adik saya (dengan ditemani papi) juga telah memperpanjang SIM A-nya yang sebelumnya beralamat di Kota Bekasi menjadi Jakarta. Namun pada waktu itu, adik saya terpaksa menggunakan bantuan jasa seseorang di sana karena terbentur syarat yang mengharuskan membawa Surat Pengantar dari Polres Kota Bekasi. Total biasa jasa tersebut sampai dengan perpanjangan SIM A selesai adalah Rp 500rb.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya membawa uang Rp 1jt (untuk berjaga-jaga) dan berharap dapat bertemu dengan orang yang membantu adik saya memperpanjang SIM A-nya karena (terus terang) saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk meminta Surat Keterangan dari Polres Kota Bekasi, dan dengan KTP Jakarta yang saya miliki dan ditemani oleh papi, kami berangkat ke Samsat Jakarta Barat. Kami tiba di Samsat pukul 07.30 WIB. Setelah kami memarkir mobil, papi mengarahkan saya ke loket kesehatan. Tentunya papi masih hapal betul tahapan yang harus dilalui karena baru mengantar adik saya beberapa bulan lalu.

Antrian sudah cukup ramai, +/- 5 orang di depan saya. Namun pada saat itu loket belum buka. Tertulis di loket, jam buka mulai 07.45 WIB. Selain jam buka tertulis pada loket harga formulir kesehatan sebesar Rp 25rb. Sambil mengantri dan menunggu, papi meminta SIM C dan KTP saya untuk diperbanyak . Tidak lama setelah itu, loket pun dibuka. Papi mengamati petugas loket, dan ternyata beliau tidak menemukan petugas yang membantu adik saya beberapa bulan lalu. Akhirnya saya pasrah untuk melewati proses perpanjangan secara normal/ reguler tanpa jasa bantuan dengan target pada saat “mentok”, baru saya akan menggunakan jasa bantuan. Pada saat tiba giliran saya di depan loket, petugas menanyakan formulir apa yang hendak dibeli (Baru/ Perpanjangan).

Setelah formulir dibagikan, saya diarahkan untuk mengikuti antrian untuk pemeriksaan tekanan darah dan mata. Setelah itu, saya berjalan 100m untuk masuk kantor untuk melanjutkan proses selanjutnya, dalam perjalanan singkat tersebut ada beberapa orang yang setengah berbisik menawarkan jasa bantuan tetapi tidak saya hiraukan. Sedangkan papi tidak ikut masuk kantor dan menunggu di ruang tunggu luar. Saya merasa kurang nyaman pada saat masuk kantor, karena saya tidak mengetahui tahapan apa saja dan harus ke mana. Namun perasaan tersebut saya pendam dalam hati, saya berusaha tenang dan seolah-olah sudah paham proses di dalam. Saya sempat ditegur oleh salah seorang petugas karena salah jalan. Saya memasuki area yang seharusnya belum dapat dimasuki pada tahap awal. Ketika ditegur, saya bersikap tenang dan “pura-pura bodoh” dengan maksud agar saya mendapat penjelasan dari petugas. Saya agak khawatir bahwa dengan keliatan bingung dan tidak tahu apa-apa akan menjadi sasaran pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Petugas menjelaskan bahwa saya harus membayar biaya perpanjangan SIM melalui BRI, yang mana saat itu BRI belum buka. Jadi saya menunggu BRI buka bersama dengan puluhan orang lainnya.

Setelah BRI buka, saya membayar sebesar Rp 75rb (tarif perpanjangan SIM C), sambil membayar saya menanyakan tahapan selanjutnya kepada petugas BRI. Kemudian diketahui bahwa tahapan selanjutnya adalah membeli asuransi sebesar Rp 30rb. Saya kembali bertanya kepada petugas asuransi tahapan selanjutnya, dan dijelaskan bahwa tahapan selanjutnya adalah pengambilan dan pengisian formulir. Setelah mendapatkan formulir tersebut, saya langsung mengisi formulir tersebut dan untunya contoh pengisian formulir terpampang besar di dinding kantor.

Setelah formulir lengkap terisi, saya berjalan menuju ke loket selanjutnya untuk menyerahkan formulir. Pada loket tersebut terdiri dari banyak loket dan salah satunya adalah loket Perpanjangan SIM C. Setelah menyerahkan formulir, dan kemudian diminta untuk menyerahkan SIM C yang lama, saya diminta menunggu di ruang tunggu. Setelah +/- 5 menit saya dipanggil untuk mendekati loket, kemudian diberikan kertas kecil dan petugas menjelaskan tahapan selanjutnya adalah foto.

Selesai foto, petugas mengarahkan saya ke loket 32, setelah saya menemukan loket tersebut, tertulis Pengambilan SIM. Alangkah senangnya saya bahwa seluruh tahapan dapat saya lalui dengan baik. Setelah beberapa menit, nama saya dipanggil untuk menerima SIM C baru saya. Saya lihat jam tangan bahwa waktu yang diperlukan dari awal saya lalui sekitar 50 menit.
Saya keluar kantor menemui papi di ruang tunggu depan. Saat itu papi sedang sarapan lontong. Kemudian atas saran papi, saya diminta untuk memperpanjang SIM A saya agar jatuh tempo kedua SIM bersamaan sehingga tidak repot ataupun lupa memperpanjang SIM. Akhirnya saya melakukan seperti saran papi. Saya melalui proses perpanjangan SIM A (sama seperti SIM C) hanya dengan 30 menit, karena saya sudah hapal proses dan loket-loketnya. Hehehehe......

Total biaya untuk memperpanjang SIM C adalah Rp 130rb dan SIM A Rp 135rb, dengan rincian sebagai berikut:
  • Formulir kesehatan Rp 25rb
  • Biaya Perpanjangan SIM via BRI (SIM C Rp 75rb; SIM A Rp 80 rb)
  • Asuransi Rp 30rb

Beberapa hal catatan penting dalam memperpanjang SIM:
  1.  Lakukan perpanjangan SIM sebelum jangka waktu SIM habis
  2.  Gunakan pakaian yang rapih dan sopan, celana panjang, dan sepatu
  3. Datang pagi hari (07.30 WIB)
  4. Bawa SIM dan KTP asli
  5. Bawa fotokopi SIM dan KTP (masing-masing 3 buah)
  6. Bawa pulpen


Selamat memperpanjang SIM.

Monday, July 27, 2015

PSSI VS Menpora


Seperti kita ketahui bersama, saat ini sepak bola Indonesia berada di bawah titik nadir. Puncaknya terjadi saat seluruh kompetisi (Liga Super Indonesia/LSI dan Divisi Utama/DU) dibubarkan oleh PSSI. Adapun alasan pembubaran kompetisi adalah force majeur, yang mana PSSI tidak dapat menyelenggarakan kompetisi karena organisasi olahraga tertua di Indonesia ini (berdiri sejak 19 April 1930) dibekukan oleh Menpora Imam Nahrawi berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 01307 Tahun 2015 pada Poin ke-4.

Ada efek domino yang timbul dari berhentinya kompetisi di negeri ini. Mulai dari pemain dan pelatih yang merupakan korban utama sampai dengan pedagang kecil yang mengisi periuk nasi dari kompetisi yang digelar, dengan berjualan makanan, minuman, merchandise, dll. Yang pasti, tidak ada satu pihak pun yang diuntugkan dari bubarnya kompetisi. Padahal kompetisi adalah muara dari prestasi. Selain itu, Indonesia pun di banned oleh FIFA dari keanggotaan.

Penulis mencoba bersikap netral, dan tidak mau terlalu jauh membahas pangkal masalah dan mencoba men-judge pihak mana yang benar dan salah. Beberapa poin yang bisa kita pahami bersama dari perseteruan ini antara lain:

  1. Setelah berdiri sejak 1930, PSSI tidak mengalami kemajuan yang signifikan dalam membangun sepak bola, termasuk dalam pembangunan kompetisi yang berkualitas, terutama kompetisi junior, sehingga prestasi sepak bola tidak pernah dirasakan. Bahkan akhir-akhir ini, meraih prestasi di level ASEAN pun sangat sulit.
  2. PSSI juga tidak berhasil meningkatkan level kompetisi ditandai dengan tidak profesionalnya klub-klub yang ada di Indonesia yaitu dapat dilihat dengan jelas bahwa banyaknya pemain yang tidak mendapatkan gaji sesuai dengan waktu yang disepakati.
  3. Menpora yang berkeinginan merevitalisasi pengelolaan sepak bola Indonesia tidak melakukan hal yang prosedural, melainkan menabrak statuta FIFA yang berlaku, yaitu turut campur langsung dalam dapur PSSI.

Penulis menyimpulkan tiga poin di atas, meyakini bahwa semua pihak berkeinginan memperbaiki sepak bola nasional. Namun cara-cara yang digunakan tidak bermartabat, tidak cantik, dan melanggar aturan lainnya.

Kita bisa belajar dari Italia, yang mana pada awal tahun 2000an dilanda kasus suap. Bahkan buntutnya adalah Juventus – Sang Juara Serie A – tidak hanya dicopot gelar juaranya, tetapi juga dihukum turun kasta  ke Serie B. Namun Italia berhasil memperoleh Juara Dunia 2006 di Jerman.

Pada saat sepak bola Italia dianggap kotor dan busuk, pemerintah tidak turun langsung masuk dapur FIGC (PSSI-nya Italia) apalagi membekukan organisasi tersebut. Namun menggunakan cara-cara yang sesuai dengan porsi sebagai pemerintah. Hal yang sama juga berlaku untuk PSSI, di mana tindakan tegas yang dilakukan oleh FIGC terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus dihukum tegas tanpa pandang bulu, dan melibatkan aparat kepolisian.

Sudah saatnya Menpora melepaskan pembekuan PSSI, dan PSSI berbenah diri, agar kompetisi dapat segera digelar sambil dilakukan perbaikan yang serius dan signifikan dari waktu ke waktu.

Lucunya Anak Kecil Saat Makan

Lucu! Melihat 2 bocah perempuan - bocah 6 tahun (Kakak) menyuapi adiknya yang berumur 3 tahun (Adik). Gaya nyuapin si kakak mirip dengan gaya "nyuapin" ibu-ibu dewasa pada umumnya.

Si kakak meniupkan nasi panas+kuah soto dalam piringnya, lalu menempelkan bibirnya ke nasi, baru kemudian menyuapkan ke si adik. Namun si adik tetap kepanasan pada saat menyuap nasi tersebut dan mulut kecil si adik mencuap-cuap serta mengeluarkan asap karena kepanasan. Hahaha

Pada suapan kedua, si kakak kembali meniupkan nasi pada sendok, menempelkan pada bibirnya, kemudian memasukan sebagian nasi ke dalam rongga mulut, setelah itu baru menyuapi adiknya. Kali ini sukses!

Setelah kesuksesan ke sekian kali, rupanya si adik penasaran dengan potongan telur goreng yang ada di piring mereka. Sebab sedari awal makan, si kakak hanya menyuapi si adik dengan nasi putih bercampur dengan kuah soto. Si adik memegang sendok di piring, kemudian mulai membelah telur tersebut. Ternyata, tidak mudah! Setelah dibelah dengan sendok, digesek maju mundur beberapa kali, telur goreng tidak juga terbagi. Lalu si kakak berbisik kepada adiknya, "coba agak ditekan sedikit", dan berhasil! Hahaha

Kemudian ibu kedua anak tersebut menemani mereka makan.

Semangkuk Mie Ayam

Dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah, saya memutuskan untuk berhenti di suatu kedai mie ayam. Kedai mie yang biasanya ramai, kali ini agak sepi. Mungkin karena jam tarawih pikirku.

Setelah semangkok mie dihidangkan, saya mengucap syukur dan langsung menyantapnya. Tukang mie duduk santai di seberangku, dan mulai mangajak berbincang denganku perihal mudik dan persiapan menjelang Lebaran. Santainya kondisi percakapan, beliau mulai mengangkat kaki kanannya kemudian ditaruh di lutut kaki kirinya. Sambil terus berbincang, sesekali beliau mengusap-usapkan tangannya ke telapak kaki dan kadang diselingi garukan-garukan kecil.
Sontak saya terkejut karena saya meyakini bahwa tangan beliau cuma dua. 

Saya belum memutuskan kapan akan kembali ke kedai tersebut.

(Sebaiknya) Konsentrasi di Stasiun

"Mas..mas", panggilan saya kepada seorang muda yang sedang duduk di pinggir tangga stasiun manggarai.

Pemuda tersebut tidak menggubris panggilan saya karena dia asyik dengan musik yg didengar via handsfree yg menempel dikedua telinganya.

Akhirnya, saya menepuk bahunya, baru dia menoleh ke arah saya. Kemudian saya menunjuk garis kuning - tanda batas aman menunggu kereta buatan pengelola commuter line.

Pemuda tersebut tidak langsung mengerti maksud jari telunjuk saya. Dia langsung melepaskan kedua handsfree dari kedua telinganya seraya berkata, "ada apa ya?". Kemudian saya menjawab, "ini batas amannya, nanti bisa kena serempet kl ada kereta." "Oh iya iya", jawabnya singkat sambil berdiri dan beranjak menjauh.

Tuesday, May 26, 2015

Commuterline, Transjakarta, dan Sepeda Motor

Sepeda Motor
Meskipun terlahir di Jakarta, dari kecil hingga tahun 2011 (kuliah semester awal), orangtua dan saya tinggal di Bekasi. Pertengahan tahun 2011, keluarga saya pindah ke Jakarta, yaitu Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Namun karena berbagai alasan, salah satunya kecintaan saya terhadap Pocky (anjing yang saya pelihara sejak umur 2 minggu), rumah di Bekasi tetap saya tempati. Jadi intinya, saya tinggal di dua tempat, yaitu Bekasi dan Cempaka Mas.

Sejak duduk di bangku SMA, saya sudah menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi. Kebetulan jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh yaitu +/-10 Km. Kebiasaan tersebut terbawa hingga saya kuliah.

Saya kuliah di Universitas Bina Nusantara, Kemanggisan, Jakarta Barat. Hampir setiap hari saya menempuh perjalanan 60 Km (pulang pergi Bekasi-Binus).
Pada semester awal saya kos di sekitar kampus, namun semester selanjutnya sampai dengan lulus saya memilih pulang pergi.

Tidak sampai di situ, setelah lulus kuliah, saya mendapatkan pekerjaan di daerah Senayan, Jakarta, saya juga menggunakan sepeda motor ke kantor, baik pulang ke Bekasi maupun Cempaka Mas.

Namun di sini masalahnya. Kemacetan yang saya rasakan selama saya periode kuliah 2007-2011, tidak sama dengan kemacetan 2012-sekarang, karena banyaknya proyek-proyek seperti mall, apartment, perkantoran, dan pusat keramaian lainnya. Belum lagi bertambahnya orang di Jakarta, sehingga perjalanan naik motor sudah sangat melelahkan bagi saya (ditambah lagi jika kondisi cuaca hujan) dan saya mulai berpikir untuk tidak menggunakan sepeda motor lagi sebagai alat transportasi.

Commuterline dan Transjakarta
Setelah mencari informasi melalui media internet, saya memutuskan untuk mencoba commuterline dari Kranji. Kebetulan jarak rumah sampai stasiun hanya 10 menit jika naik motor dengan kecepatan standar. Saya mulai naik Commuterline sekitar bulan September 2013 hingga saat ini. Saat ini, tarif Kranji-Sudirman Rp 2rb. Dari Sudirman ke Senayan bisa naik Kopaja M19 (Rp 4rb), transjakarta dari halte Tosari/Dukuh atas (Rp 3.5rb), bus bianglala (Rp 5rb), ataupun bus gratis. Namun untuk yang saya sebutkan terakhir ini sangat terbatas jumlahnya sehingga saat beruntung saja baru ketemu. Sedangkan parkir motor di stasiun kranji adalah Rp 3rb/hari.

Seperti yang saya utarakan di awal tulisan ini, selain di Bekasi saya juga tinggal di Cempaka Mas. Jadi, saya menggunakan transjakarta untuk transportasi Cempaka Mas - Senayan ataupun sebaliknya dengan tarif normal Rp 3.5rb. Tarif khusus Rp 2rb, apabila masuk halte sebelum pukul 7 pagi.

Commuterline VS Transjakarta
Sejauh ini, saya cukup puas dengan pelayanan Commuterline, biasanya saya naik Commuterline pukul 06.44 WIB di Kranji, dan sampai Manggarai 20 menit kemudian (07.04), kemudian akan transit dengan kereta penyambung untuk arah ke Tanahabang ataupun transit dengan Commuterline Bogor-Tanahabang. Dari Manggarai, Sudirman hanya berselang 1 stasiun, sehingga kira-kira 07.20 saya sudah sampai di Sudirman.

Sebelumnya harus saya informasikan terlebih dahulu bahwa saat ini belum ada jurusan Bekasi-Sudirman, sehingga penumpang tujuan Sudirman dari Bekasi harus transit di Manggarai.

Apabila saya sedang menginap di Cempaka Mas, saya harus berangkat menggunakan Transjakarta (Tj) dengan rute Cempaka Mas - transit di Harmoni - lanjut ke arah Blok M (turun di Bunderan Senayan). Dengan rute tersebut, ironisnya apabila saya naik Tj pukul 06.44 WIB (sama seperti saya naik Commuterline dari Kranji), saya akan sampai Sudirman +/- pukul 08.15 (ini pun tidak pasti). Lebih ironisnya lagi, untuk dapat naik Tj di jam tsb saya harus antri dulu setengah jam sebelumnya!

Intinya, saya harus bangun lebih pagi untukberangkat dari Jakarta Pusat (Cempaka Mas) ke Senayan dibandingkan dari Bekasi Barat (Kranji) ke Senayan! Edun!

Saya sudah menjalani ini selama kurang lebih 1.5 tahun. Jadi, perbandingan ini saya rasakan bukan hanya dalam rentang yang singkat atau beberapa kali saja.

Kelebihan dan Kekurangan Commuterline
+ Hemat biaya, Kranji (Bekasi Barat) - Sudirman (Jakarta Pusat) hanya Rp 2rb.
+ Cepat sampai, Kranji (Bekasi Barat) - Sudirman (Jakarta Pusat) hanya +/- 45 menit di jam kerja
+ Dibandingkan naik mobil atau motor, badan tidak pegal serta pikiran tidak stress karena macet.
+ Kepastian jadwal keberangkatan.
+ Mampu mengangkut banyak penumpang.
- Commuterline pada jam sibuk sangat ramai, dan desak-desakan.
- Jika tidak hati - hati, bisa terkena copet.
- Jika ada gangguan sinyal, jangka waktu perjalanan akan molor.
- Sering ada pendingin kereta yang tidak berfungsi.

Kelebihan dan Kekurangan Transjakarta
+ Hemat biaya, karena bisa keliling Jakarta hanya dengan Rp 3.5rb.
- Jadwal tidak pasti, sering ada penumpukan penumpang*
- Kenyamanan bus tidak memadai, hanya koridor 1 (Jakarta Kota-Blok M) yang manusiawi.
- Bukan hanya tidak nyaman, tetapi bus sering mogok*
Jika tidak hati - hati, bisa terkena copet.

*Rute: Pulogadung - Harmoni /  Pulogadung - Kalideres.

Gunung Prau, Dieng (22-24 Mei 2015)

Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog tercinta ini. Nampaknya sudah hampir setahun :(

Saya mau cerita sedikit tentang pengalaman pertama saya muncak di gunung, yaitu Gunung Prau di ketinggian 2565 MDPL. Berikut ceritanya.

Persiapan
Tiga minggu sebelum muncak (baca: naik gunung), saya mempersiapkan diri dengan pergi ke toko outdoor di rawamangun. Kebetulan saya mendapatkan rekomendasi dari seorang teman. Toko tersebut berada di depan Apotek Sion, sebelum terminal belok kiri kalau dari arah Kayu Putih, sayang sekali saya lupa nama tokonya. Di sana terdapat 2 toko yang saling bersebrangan, toko pertama menjual berbagai macam merk dan toko yang lain menjual merek Deuter saja.

Saya membeli tas hiking bermerek Rei dengan kapasitas 45L dengan harga Rp 499rb, serta membeli sebuah slayer berbentuk tabung yang multifungsi seharga Rp 50rb. Sedangkan sleeping bag, sendal gunung, serta jaket tebal sudah saya miliki sebelumnya.

Nanjak Prau
Sepulang kerja - pukul 17.30 WIB pada 22 Mei 2014 - saya dan bersama 6 rekan kerja yang sudah mendaftar pergi ke gunung berangkat bersama menuju Dunkin Donuts Plaza Semanggi (meeting point) menggunakan jasa Uber (Innova) dari kawasan Senayan.

Sesampainya di Semanggi, kami berkenalan dengan panitia (Indogenous) dan peserta lainnya. Kira-kira pukul 20.00 WIB menggunakan mobil berkapasitas 18 penumpang. Singkat cerita, pukul 10.45 WIB kami sudah sampai di Wonosobo untuk sarapan pagi dan membeli bahan-bahan makanan untuk di puncak gunung seperti sayur mayur dan beberapa rempah dan bumbu instant, dan kemudian perjalanan dilanjutkan ke Telaga Warna. Udara sejuk menemani kami setelah lebih dari 12 jam menempuh perjalanan darat.

Setelah itu, sekitar jam 14.30 kami sampai di tempat awal pendakian. Sebelumnya kami pergi ke sebuah minimarket untuk finalisasi pembelian barang-barang seperti makanan ringan, mie instan, dan tentu saja air minum. Saya sendiri membeli total 3 Liter air (6 botol 600ml) serta beberapa makanan ringan berbentuk cokelat.

Pada 15.30 WIB, kami sudah siap berada di tempat pendaftaran untuk pendakian. Di sana kami mendaftarkan diri dengan memberikan nomor nama dan nomor KTP. Atas saran panitia saya juga membeli tongkat yang terbuat dari bambu seharga Rp 10rb.

Kami mulai mendaki (16.00 WIB), ditemani dengan angin dingin dan sinar matahari yang redup. Lima belas menit pendakian awal adalah langkah yang cukup berat, karena saya masih belum terbiasa dengan medan yang ada serta beban tas yang begitu berat. Namun saya tetap berusaha menguatkan diri untuk terus naik.

Langkah demi langkah saya lalui bersama teman-teman, jalan - istirahat - jalan - istirahat begitu seterusnya. Tidak terasa sudah pukul 18.30 WIB, tetapi kami juga belum sampai ke puncak. Namun Matahari mulai pulang ke rumahnya. Pukul 18.00 WIB, matahari sudah pergi, dan saya beserta teman-teman tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan senter yang sudah kami persiapkan dari rumah sambil ditemani cahaya bulan dan bintang  di langit. Saya sendiri sangat menikmati langit saat istirahat dalam pendakian.

Medan yang berat serta gelapnya langit menemani saya dan beberapa teman (tepatnya bertiga) yang tersisa. Teman-teman lain terpencar, ada yang sudah di depan, ada yang masih di belakang. Hal ini terjadi karena kekuatan dan daya tahan setiap orang berbeda-beda.

Dengan segenap kekuatan yang ada, akhirnya saya dan kedua teman sampai ke pucak, YEAH! Saat itu sudah pukul 19.00 WIB. Kami sudah ditunggu teman-teman lain yang sudah sampai terlebih dahulu. Akhirnya 2 orang dari kami yang sudah sampai di puncak menunggu teman-teman yang belum sampai, sedangkan lainnya mencari tempat untuk mendirikan tenda.

Suasana di puncak Prau sangat ramai, saat itu sepengamatan saya tidak kurang dari 30 tenda sudah didirikan. Penerangan yang seadanya (senter), kami berusahan mencari tempat yang ideal, karena tidak ratanya puncak gunung merupakan salah satu kendala dalam memilih tempat singgah untuk mendirikan tenda.

Pukul 20.00 WIB, empat tenda berhasil didirikan, dan kami mulai mempersiapkan makanan. Tidak lain tidak bukan, makanan yang kami siapkan adalah mie instan. Semua peserta sudah sangat kelaparan ditemani udara dingin yang sangat menusuk tulang. Faktor higienis sudah agak dikesampingkan karena kelaparan yang melanda! hahahaha. Semua orang langsung menyantap mie instan yang ada.

Menurut hemat saya sendiri, suhu saat itu berada di kisaran 10 derajat celsius. Jadi tanpa tenda, kaus kaki, jaket yang cukup tebal dan sleeping bag, saya tidak yakin orang kuat tidur di sana.

Setelah semua menyantap mie instan (21.00 WIB), saya dan teman satu tenda (4 orang), kami memutuskan untuk tidur karena kelelahan. Lucunya, tenda kami berada di permukaan tanah yang tidak rata, sehingga sepanjang malam saya terbangun meringis kesakitan di area tulang ekor.

Pagi Hari di Puncak
Kira-kira pukul 05.30 WIB, suara berisik sudah terdengar dari luar tenda saya. Saya dan teman-teman terbangun dan keluar tenda untuk bersiap-siap menyaksikan matahari terbit. Puji Tuhan, punggung ataupun tulang ekor saya tidak sakit saat saya terbangun. Saat keluar tenda, saya agak terkejut karena jumlah tenda yang ada pagi itu sangat banyak sekali, perkiraan saya ada lebih dari 100 tenda berdiri di puncak!

Saya menikmati detik-detik datangnya matahari terbit dengan udara dingin di sekitar. Saya sangat bersyukur dapat menikmati momen tersebut seraya berdoa kepada Tuhan yang pemilik semesta alam. Namun sayangnya ada beberapa teman juga yang masih terlelap tidur.

Pukul 07.00, saya dan teman-teman sudah mulai masak-memasak karena perut sudah sangat lapar. Oh iya, semua makanan yang ada di gunung akan sangat enak rasanya. Contohnya adalah nasi putih kelompok kami yang keras (kurang air), tetap ludes di makan semua anggota kelompok. hehehe.

Turun Prau
Setelah beres-beres dan foto bersama, akhirnya saya dan teman-teman mulai turun puncak (09.30 WIB), tidak lupa seluruh sampah yang kami hasilkan selama di puncak, kami bawa turun ke bawah. Ini adalah aturan umum di kalau naik gunung.

Dalam perjalanan turun, ditemani matahari pagi-siang, kami turun dengan sukacita. Sama seperti pada saat naik, kami juga banyak beristirahat dalam perjalanan turun. Namun karena cuaca terang, kami dapat turun sambil menikmati pemandangan alam Gunung Prau.

Kami juga mampir di toko kecil di gunung tersebut sambil menikmati es buah carica. Carica merupakan buah pepaya namun berbentuk kecil. Segelas es buah carica seharga Rp 5rb, dan merupakan buatan langsung dari pedagang. Berbeda dengan es buah carica dalam kemasan, yang rasanya sudah ditambahkan pemanis buatan. Es buah carica di atas gunung sangat segar dan rasa manis berasal dari buah itu sendiri.

Setelah 2 jam, akhirnya saya sampai di bawah dan langsung menikmati mandi! Cukup murah tarifnya yaitu Rp 5rb untuk air hangat dan Rp 2rb untuk air dingin. Saya memilih mandi air hangat dan saya sangat puas karena sudah tidak mandi dari jumat pagi! Sedangkan hari itu adalah hari minggu siang.

Pulang
Saya dan teman-teman makan siang mie ongklok sekitar pukul 13.30 WIB, dan setelah itu langsung pulang menuju Jakarta.

Akhirnya kami sampai Jakarta (Senin, 05.00 WIB).

Terima kasih Tuhan, terima kasih teman-teman! Ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.

Beberapa Penting Saat Persiapan dan Pendakian
Seperti yang saya sudah kemukakan di awal tulisan saya ini, kali ini adalah pertama kali pendakian saya ke gunung, dan mungkin hal-hal yang saya alami ini bisa menjadi pengetahuan untuk teman-teman yang ingin naik gunung:
  1. Mempersiapkan barang- barang bawaan dengan baik (sleeping bag, jaket, kaos kaki, sarung tangan, tenda, matras, tas gunung, sepatu/sandal gunung, topi kupluk, balsem, senter, jas hujan, tissue basah, obat-obatan pribadi, kompor, nesting, bahan makanan, makanan ringan, dan air putih yang cukup).
  2. Kesiapan fisik. Perjalanan yang panjang Jakarta - Dieng melalui jalur darat, membuat fisik saya cukup terkuras. Usahakan makan makanan yang bergizi dan minum multivitamin, dan jangan lupa minum air putih.
  3. Berdoa dan ikuti arahan dan larangan dari panitia/pemandu atau pendaki yang sudah lebih berpengalaman.

Selamat mendaki!