Seperti kita ketahui bersama, saat ini sepak bola Indonesia berada di bawah titik nadir. Puncaknya terjadi saat seluruh kompetisi (Liga Super Indonesia/LSI dan Divisi Utama/DU) dibubarkan oleh PSSI. Adapun alasan pembubaran kompetisi adalah force majeur, yang mana PSSI tidak dapat menyelenggarakan kompetisi karena organisasi olahraga tertua di Indonesia ini (berdiri sejak 19 April 1930) dibekukan oleh Menpora Imam Nahrawi berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 01307 Tahun 2015 pada Poin ke-4.
Ada efek domino yang timbul dari berhentinya kompetisi di negeri ini. Mulai dari pemain dan pelatih yang merupakan korban utama sampai dengan pedagang kecil yang mengisi periuk nasi dari kompetisi yang digelar, dengan berjualan makanan, minuman, merchandise, dll. Yang pasti, tidak ada satu pihak pun yang diuntugkan dari bubarnya kompetisi. Padahal kompetisi adalah muara dari prestasi. Selain itu, Indonesia pun di banned oleh FIFA dari keanggotaan.
Penulis mencoba bersikap netral, dan tidak mau terlalu jauh membahas pangkal masalah dan mencoba men-judge pihak mana yang benar dan salah. Beberapa poin yang bisa kita pahami bersama dari perseteruan ini antara lain:
- Setelah berdiri sejak 1930, PSSI tidak mengalami kemajuan yang signifikan dalam membangun sepak bola, termasuk dalam pembangunan kompetisi yang berkualitas, terutama kompetisi junior, sehingga prestasi sepak bola tidak pernah dirasakan. Bahkan akhir-akhir ini, meraih prestasi di level ASEAN pun sangat sulit.
- PSSI juga tidak berhasil meningkatkan level kompetisi ditandai dengan tidak profesionalnya klub-klub yang ada di Indonesia yaitu dapat dilihat dengan jelas bahwa banyaknya pemain yang tidak mendapatkan gaji sesuai dengan waktu yang disepakati.
- Menpora yang berkeinginan merevitalisasi pengelolaan sepak bola Indonesia tidak melakukan hal yang prosedural, melainkan menabrak statuta FIFA yang berlaku, yaitu turut campur langsung dalam dapur PSSI.
Penulis menyimpulkan tiga poin di atas, meyakini bahwa semua pihak berkeinginan memperbaiki sepak bola nasional. Namun cara-cara yang digunakan tidak bermartabat, tidak cantik, dan melanggar aturan lainnya.
Kita bisa belajar dari Italia, yang mana pada awal tahun 2000an dilanda kasus suap. Bahkan buntutnya adalah Juventus – Sang Juara Serie A – tidak hanya dicopot gelar juaranya, tetapi juga dihukum turun kasta ke Serie B. Namun Italia berhasil memperoleh Juara Dunia 2006 di Jerman.
Pada saat sepak bola Italia dianggap kotor dan busuk, pemerintah tidak turun langsung masuk dapur FIGC (PSSI-nya Italia) apalagi membekukan organisasi tersebut. Namun menggunakan cara-cara yang sesuai dengan porsi sebagai pemerintah. Hal yang sama juga berlaku untuk PSSI, di mana tindakan tegas yang dilakukan oleh FIGC terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus dihukum tegas tanpa pandang bulu, dan melibatkan aparat kepolisian.
Sudah saatnya Menpora melepaskan pembekuan PSSI, dan PSSI berbenah diri, agar kompetisi dapat segera digelar sambil dilakukan perbaikan yang serius dan signifikan dari waktu ke waktu.