Monday, July 27, 2015

PSSI VS Menpora


Seperti kita ketahui bersama, saat ini sepak bola Indonesia berada di bawah titik nadir. Puncaknya terjadi saat seluruh kompetisi (Liga Super Indonesia/LSI dan Divisi Utama/DU) dibubarkan oleh PSSI. Adapun alasan pembubaran kompetisi adalah force majeur, yang mana PSSI tidak dapat menyelenggarakan kompetisi karena organisasi olahraga tertua di Indonesia ini (berdiri sejak 19 April 1930) dibekukan oleh Menpora Imam Nahrawi berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 01307 Tahun 2015 pada Poin ke-4.

Ada efek domino yang timbul dari berhentinya kompetisi di negeri ini. Mulai dari pemain dan pelatih yang merupakan korban utama sampai dengan pedagang kecil yang mengisi periuk nasi dari kompetisi yang digelar, dengan berjualan makanan, minuman, merchandise, dll. Yang pasti, tidak ada satu pihak pun yang diuntugkan dari bubarnya kompetisi. Padahal kompetisi adalah muara dari prestasi. Selain itu, Indonesia pun di banned oleh FIFA dari keanggotaan.

Penulis mencoba bersikap netral, dan tidak mau terlalu jauh membahas pangkal masalah dan mencoba men-judge pihak mana yang benar dan salah. Beberapa poin yang bisa kita pahami bersama dari perseteruan ini antara lain:

  1. Setelah berdiri sejak 1930, PSSI tidak mengalami kemajuan yang signifikan dalam membangun sepak bola, termasuk dalam pembangunan kompetisi yang berkualitas, terutama kompetisi junior, sehingga prestasi sepak bola tidak pernah dirasakan. Bahkan akhir-akhir ini, meraih prestasi di level ASEAN pun sangat sulit.
  2. PSSI juga tidak berhasil meningkatkan level kompetisi ditandai dengan tidak profesionalnya klub-klub yang ada di Indonesia yaitu dapat dilihat dengan jelas bahwa banyaknya pemain yang tidak mendapatkan gaji sesuai dengan waktu yang disepakati.
  3. Menpora yang berkeinginan merevitalisasi pengelolaan sepak bola Indonesia tidak melakukan hal yang prosedural, melainkan menabrak statuta FIFA yang berlaku, yaitu turut campur langsung dalam dapur PSSI.

Penulis menyimpulkan tiga poin di atas, meyakini bahwa semua pihak berkeinginan memperbaiki sepak bola nasional. Namun cara-cara yang digunakan tidak bermartabat, tidak cantik, dan melanggar aturan lainnya.

Kita bisa belajar dari Italia, yang mana pada awal tahun 2000an dilanda kasus suap. Bahkan buntutnya adalah Juventus – Sang Juara Serie A – tidak hanya dicopot gelar juaranya, tetapi juga dihukum turun kasta  ke Serie B. Namun Italia berhasil memperoleh Juara Dunia 2006 di Jerman.

Pada saat sepak bola Italia dianggap kotor dan busuk, pemerintah tidak turun langsung masuk dapur FIGC (PSSI-nya Italia) apalagi membekukan organisasi tersebut. Namun menggunakan cara-cara yang sesuai dengan porsi sebagai pemerintah. Hal yang sama juga berlaku untuk PSSI, di mana tindakan tegas yang dilakukan oleh FIGC terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus suap harus dihukum tegas tanpa pandang bulu, dan melibatkan aparat kepolisian.

Sudah saatnya Menpora melepaskan pembekuan PSSI, dan PSSI berbenah diri, agar kompetisi dapat segera digelar sambil dilakukan perbaikan yang serius dan signifikan dari waktu ke waktu.

Lucunya Anak Kecil Saat Makan

Lucu! Melihat 2 bocah perempuan - bocah 6 tahun (Kakak) menyuapi adiknya yang berumur 3 tahun (Adik). Gaya nyuapin si kakak mirip dengan gaya "nyuapin" ibu-ibu dewasa pada umumnya.

Si kakak meniupkan nasi panas+kuah soto dalam piringnya, lalu menempelkan bibirnya ke nasi, baru kemudian menyuapkan ke si adik. Namun si adik tetap kepanasan pada saat menyuap nasi tersebut dan mulut kecil si adik mencuap-cuap serta mengeluarkan asap karena kepanasan. Hahaha

Pada suapan kedua, si kakak kembali meniupkan nasi pada sendok, menempelkan pada bibirnya, kemudian memasukan sebagian nasi ke dalam rongga mulut, setelah itu baru menyuapi adiknya. Kali ini sukses!

Setelah kesuksesan ke sekian kali, rupanya si adik penasaran dengan potongan telur goreng yang ada di piring mereka. Sebab sedari awal makan, si kakak hanya menyuapi si adik dengan nasi putih bercampur dengan kuah soto. Si adik memegang sendok di piring, kemudian mulai membelah telur tersebut. Ternyata, tidak mudah! Setelah dibelah dengan sendok, digesek maju mundur beberapa kali, telur goreng tidak juga terbagi. Lalu si kakak berbisik kepada adiknya, "coba agak ditekan sedikit", dan berhasil! Hahaha

Kemudian ibu kedua anak tersebut menemani mereka makan.

Semangkuk Mie Ayam

Dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah, saya memutuskan untuk berhenti di suatu kedai mie ayam. Kedai mie yang biasanya ramai, kali ini agak sepi. Mungkin karena jam tarawih pikirku.

Setelah semangkok mie dihidangkan, saya mengucap syukur dan langsung menyantapnya. Tukang mie duduk santai di seberangku, dan mulai mangajak berbincang denganku perihal mudik dan persiapan menjelang Lebaran. Santainya kondisi percakapan, beliau mulai mengangkat kaki kanannya kemudian ditaruh di lutut kaki kirinya. Sambil terus berbincang, sesekali beliau mengusap-usapkan tangannya ke telapak kaki dan kadang diselingi garukan-garukan kecil.
Sontak saya terkejut karena saya meyakini bahwa tangan beliau cuma dua. 

Saya belum memutuskan kapan akan kembali ke kedai tersebut.

(Sebaiknya) Konsentrasi di Stasiun

"Mas..mas", panggilan saya kepada seorang muda yang sedang duduk di pinggir tangga stasiun manggarai.

Pemuda tersebut tidak menggubris panggilan saya karena dia asyik dengan musik yg didengar via handsfree yg menempel dikedua telinganya.

Akhirnya, saya menepuk bahunya, baru dia menoleh ke arah saya. Kemudian saya menunjuk garis kuning - tanda batas aman menunggu kereta buatan pengelola commuter line.

Pemuda tersebut tidak langsung mengerti maksud jari telunjuk saya. Dia langsung melepaskan kedua handsfree dari kedua telinganya seraya berkata, "ada apa ya?". Kemudian saya menjawab, "ini batas amannya, nanti bisa kena serempet kl ada kereta." "Oh iya iya", jawabnya singkat sambil berdiri dan beranjak menjauh.