Monday, April 8, 2019

Rendang Berasal Dari

Pada medio 90an, muda mudi tidak sudi menggunakan batik karena apabila mengenakan pakaian tersebut, maka akan terdengar celoteh, “mau kemana Pak Lurah?” Stigma semacam ini yang membuat kebanggan kita terhadap budaya sendiri menjadi luntur.

“Untungnya” pada tahun 2009 Malaysia mengklaim batik sebagai budaya mereka, sehingga kita semua tersentil, marah, dan kecewa, yang mana hal ini berakibat positif dan bisa kita nikmati bersama buahnya sampai saat ini, yaitu kita semua cinta dan bangga menggunakan batik. Apakah kita harus berterima kasih kepada Malaysia? Sebagai informasi, pada saat itu, akhirnya UNESCO pun sampai harus turun tangan dan pada akhirnya mengakui batik berasal dari Indonesia. Sebetulnya tidak hanya batik yang diklaim oleh  Negeri Jiran tersebut, tetapi juga Reog Ponorogo, Tari Pendet, Angklung, Tari Tortor, dll. 

Belakangan juga muncul meme, bahwa penyanyi Agnez Mo diklaim oleh netizen Malaysia, dan disambut kembali dengan kemarahan netizen Indonesia. Namun sebenarnya hal ini dilakukan oleh mereka hanya untuk menggoda kita yang dianggap mudah tersulut. Tidak mau kalah dengan mereka, kita juga membalas misalnya saja rendang yang juga katanya diklaim berasal dari Malaysia. Padahal semua orang Indonesia tahu, kalau rendang berasal dari daging sapi.

Saya sendiri juga tidak memahami apa yang menjadi motivasi negara tetangga tersebut banyak mengklaim budaya kita. Berkaca ke diri sendiri, sebagai Bangsa Indonesia, ketika menyaksikan Barongsai misalnya, atau tari-tarian dari Timur Tengah, dan budaya-budaya lainnya, kita hanya menikmatinya saja – tanpa ada pemikiran sedikit pun bahwa kita ingin mengakui budaya tersebut adalah budaya asli Indonesia. Meskipun di sisi lain orang-orang keturunan Tionghoa ataupun orang-orang keturunan Timur Tengah telah turun temurun tinggal di Indonesia dan menjadi WNI – sebagaimana alasan Malaysia saat mengklaim budaya-budaya kita.

Jadi, apakah “serangan-serangan dari luar” yang mampu membuat kita bangga akan Indonesia?

Gen Ksatria

Tidak seperti Indonesia yang merdeka secara proklamasi dengan keringat dan darah para pejuang, kemerdekaan Malaysia, tahun 1957, didapat secara cuma-cuma (baca: hadiah) dari Inggris. Sedangkan kemerdekaan Singapura diperoleh setelah pulau itu “dibuang” oleh Malaysia tahun 1965. Bahkan Thailand belum pernah dijajah bangsa mana pun. Menjadi masuk akal apabila pada waktu yang lalu mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo berujar bahwa setiap anak-anak Indonesia yang lahir memiliki gen ksatria yang siap bertarung, bertempur, berani melawan.

Kelakar lainnya, konon tentara negara tetangga bisa terbirit-birit seandainya harus berperang dengan pasukan TNI, mendengar namanya saja sudah jiper (beberapa pasukan khusus: Kopassus, Kopaska Denjaka, Paskhas, dll.) dengan segudang CV mulai dari tinggal di hutan berhari-hari tanpa makan dan minum, berenang melewati Selat Sunda, sampai dengan menghadapi berbagai ancaman keamanan seperti melumpuhkan teroris ataupun yang terakhir menghabisi perompak Somalia di wilayah perairan Afrika. Belum lagi Kepolisian RI khususnya Densus 88, yang mampu menangkap seluruh teroris, serta mengungkap seluruh jaringan sampai ke akarnya.

Tidak hanya itu, TNI dan Polri juga aktif mengirimkan pasukan keamanan PBB untuk misi perdamaian di berbagai belahan dunia. Pertanda begitu diakui dan diseganinya aparat keamanan kita di kancah internasional.

Jadi, apakah kita masih menyepelekan aparat keamanan kita?

Saturday, January 5, 2019

Selamat Tinggal Gigi Geraham Bungsu

“Ya, palingan 20 menit kelar”, ungkap dokter gigi (dogi) yang juga merupakan ahli bedah mulut dan juga profesor (prof), dengan logat betawinya yang cukup kental. Padahal seingatku minggu lalu saat konsultasi, dia bilang hanya 10 menit. Bisa-bisanya naik 100% dalam sekejap, begitu pikirku. Ah, tapi sudah kepalang tanggung, janji sudah dibuat, cuti sudah kepalang diambil, berbagai persiapan sudah dilakukan, dan aku sudah di ruangan di suatu rumah sakit di Jakarta Pusat, pantang hukumnya untuk mundur mendadak. The show must go on.

Di ruangan tersebut prof dogi didampingi dengan seorang perawat dan juga seorang dogi perempuan muda. Beberapa kali dogi muda berkomunikasi pelan dengan prof dogi, tanpa kuamati serius apa kontennya.

Singkat cerita aku mendapat suntikan di bagian gusi kanan bawah, tempat gigi geraham bungsuku tumbuh miring sehingga menabrak kakak kandungnya sendiri (gigi di depannya). Setelah 2-3 suntikan bius menerjang gusiku, prof dogi kembali ke mejanya semula. Dia merem sejenak dengan kepala tersandar di kursi, layaknya seorang detektif yang akan membongkar sebuah kasus pembunuhan berantai. Katanya, tunggu 5 menit agar bius bereaksi. Setelah 5 menit, drama dimulai....

“Udah tebel ini”, “jangan bikin gerakan yang gak perlu”, “kamu percaya saja sama saya”, “dikit lagi nih”, “kalo begini caranya, gimana geraham bungsu yang kiri nanti, itu lebih dalem lagi”, “ayo, gak papa”. Itu adalah kata-kata prof dogi selama jalannya pencabutan gigi. Selama itu pula saya mengerang kesakitan bukan kepalang. Setiap bunyi bor terdengar, saat itu pula rasa ngilu yang hebat datang menghampiri saya selama proses itu. Rasanya bunyi bor dan rasa ngilu sudah bersepakat sejak awal untuk hadir bersama, sampai-sampai bius tak mampu menghalangi. Alhasil, keringat saya mengucur bebas tak beraturan di sekujur tubuh.

Bahkan, meskipun ada dogi perempuan muda yang hadir dan mengamati, tidak sedikitpun saya bisa jaim. Dengan mulut yang terbuka lebar, pandangan mata yang terbatas hanya bisa melihat atap-atap rumah sakit, lampu, tangan dokter dan perawat, serta percikan darah di kening prof dogi, rasanya, pasrah adalah sikap paling bijaksana saat itu. Setampan, sekekar, secerdas, sepopuler, seberprestasi, sehebat, sekuat, setinggi apapun status sosialmu, se se se se apapun dirimu, kamu adalah pasien biasa yang lemah di tangan prof dogi. Rasa ngilu akan menghempaskan segala predikat yang ada padamu, bahkan juga sambil ditonton oleh dogi perempuan muda yang sedang belajar. Sekian.

Dipublikasikan H+2 setelah operasi gigi geraham bungsu dengan keadaan pipi masih bengkak.