Monday, December 25, 2017

Syopi's Effect

Seperti kita ketahui, periode Natal dan Tahun Baru selalu membawa kegembiraan dan sukacita untuk banyak orang. Lantas, apa yang terlintas di benak tentang perayaan Natal dan Tahun Baru? Selain tentang peribadatan Nasrani, mungkin ada yang berpikir liburan panjang, makan bersama, meniup terompet, atau malah tukeran kado.

Kali ini, saya akan sedikit membahas perihal tukeran kado. Oke kita mulai.
Adakah yang menyadari, apa bagian terbaik saat tukeran kado, baik bersama teman-teman ataupun keluarga? Menurut hemat saya bukan karena kita mendapat barang/ sesuatu yang baru, atau mendapat barang yang kita perlu/ ingin, atau mendapat hadiah. Sadar atau tidak, bagian terbaik tukeran kado adalah pada saat kita membuka/merobek bungkus kado tersebut! Silakan kita resapi, pada saat kita melakukan ritual pembukaan bungkus kado. Percaya ya cukur, nggak ya gondrong :p

Menurut saya, perasaan saat membuka bungkus kado tersebut adalah perasaan yang langka. Mengapa langka? karena kita hanya bisa mendapatkan perasaan tersebut saat tukeran kado saja. Biasanya setahun 1x atau maksimal 2x, kalaupun lebih itupun konsekutif di akhir tahun. Saya sendiri belum pernah mengalami tukeran kado secara periodik misalnya 4 bulan sekali, atau 3 bulan sekali.

Baru-baru ini, saya menyadari bahwa ada fenomena di mana perasaan yang mirip dengan tukeran kado itu bisa dimunculkan tanpa melakukan aktivitas tukeran kado. Terutama sejak saya mengunduh satu aplikasi market place yang sedang kekinian, sebut saja syopi. Pada aplikasi tersebut terdapat event yang biasa disebut Flash Sale. Event tersebut dibatasi oleh waktu, dan pada periode waktu tersebut terdapat sekian belas barang dengan jumlah terbatas yang diklaim dijual secara diskon. Setiap orang hanya bisa membeli masing-masing jenis barang hanya 1 buah. Setelah mencapai tenggat waktu tertentu, barang-barang yang dijual akan berganti. Begitu seterusnya.

Beberapa kali saya bertransaksi untuk membeli barang yang sebetulnya saya tidak perlu-perlu amat. Namun karena saya tahu harga barang itu sedang murah, "terpaksa" saya beli. Setelah melakukan pembayaran dan status pembelian barang berubah menjadi persiapan pengiriman, saya sangat menanti-nantikan barang tersebut tiba, apalagi saat barang tersebut telah tiba dan saya hendak membuka bungkus barang tersebut, sensasi tersebut saya rasakan, dan rasanya mirip seperti membuka kado! Padahal saya sudah mengetahui isi barangnya!

Hal ini sudah saya rasakan tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali bahkan banyak kali. Sayangnya, pernah satu kali pesanan saya datang tanpa dibungkus tertutup alias hanya dikemas menggunakan plastik transparan sehingga terlihat isi bungkus dari luar. Tidak ada efek penasaran lagi, dan kegembiraan membuka bungkus barang pun tidak muncul.

Kembali ke kegembiraan membuka bungkus barang, apakah saya terjerat menjadi suka belanja daring? Jawabannya tidak. Namun, saya hanya menyukai sensasi menunggu barang tiba di rumah/ kantor dan sensasi membuka bungkus barang tersebut.

Apakah anda juga?

Sekian. 

Sunday, November 5, 2017

Jepang Last Part: Hal - Hal Menarik

Orang Tokyo dan Orang Osaka
Layaknya orang-orang ibukota negara maju, warga Tokyo sangat sibuk dan individualistis, bahkan bisa dibilang seperti robot. Bahkan beberapa rekan Indonesia yang kami temui di Jepang pun mengiyakan hal tersebut. Hal ini agak berbeda dengan warga Osaka, yang sejatinya merupakan kota terbesar kedua di Jepang. Warga Osaka lebih “santai” (dalam artinya tidak se-robot warga Tokyo). Namun secara umum seluruh orang Jepang mempunyai kesamaan, yaitu disiplin, tepat waktu, pekerja keras, dan baik. Khusus poin terakhir yang disebutkan, akan diulas dalam penjelasan di bawah ini.

Orang Jepang Baik
Baik memiliki arti yang sangat luas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata baik berarti elok, patuh, teratur, rapi, tidak ada celanya, tidak jahat, dsb. Namun baik yang saya maksud akan saya jelaskan lebih jauh dengan contoh-contoh sebagai berikut. Pertama, selama saya berada 9 hari di Jepang (Akihabara, Odawara, Osaka, Kyoto) saya merasakan keadaan yang aman, sekalipun beberapa kali harus pulang hingga larut karena padatnya jadwal yang kami susun. Selain itu, tidak ada copet ataupun pihak - pihak yang berusaha menggunakan kesempatan dalam kesempitan di tengah kebingungan baik dalam perjalanan, menghitung uang, berjalan di gang kecil, dll. Ketiga, pada saat kami mengunjungi Fujiko Fujio Museum, hari sedang hujan. Saya dan NK menggunakan payung dan juga pelindung tas. Tanpa disadari oleh NK dan saya, pelindung tas NK terjatuh, tiba-tiba kami sadar bahwa ada seorang laki-laki berjas (perkiraan saya usia +- 40 tahun) mengantarkan pelindung tas NK di tengah ramainya situasi stasiun saat itu. Yang pasti pelindung tas tersebut tidak jatuh di dekat kami, karena saya mendengar panggilan dari seseorang yang saya abaikan karena saya yakin bukan kami yang dipanggil karena kami tidak mengenal orang Jepang mana pun. Kejadian tersebut terjadi di stasiun Kawasaki, dan semakin membuat saya respek terhadap orang Jepang.

Tsukiji Market
Belum lengkap rasanya makan sushi ataupun sashimi kalau belum ke pasar tradisional tsukiji yang terletak di pinggir kota Tokyo. Kita bisa makan sushi dan sashimi dari ikan yang baru dipotong. Bahkan beberapa toko memotong ikan di depan tokonya sehinggak kita bisa melihat prosesnya. Selain itu, banyak juga makanan-makanan lainnya di pasar ini. Saya jamin, gak nyesel kalau datang ke sini. Oh ya, kalau berniat datang, baiknya datang di pagi hari.

Ichiran Ramen
Ini adalah ramen terenak se-dunia. Setidaknya itu menurutku. Saya memang bukan penggemar fanatik ramen, tetapi dari seluruh ramen yang saya makan di Indonesia dan Jepang, ramen inilah yang paling meninggalkan kesan mendalam. Hal ini pun diiyakan oleh teman-teman yang sudah pernah makan. Sayangnya bagi saudara-saudaraku muslim tidak boleh menikmati ramen ini karena tidak halal. Ichiran Ramen buka 24 jam dan memiliki cabang yang banyak di kota-kota di Jepang.

Matsuya dan Yoshinoya
Apabila memiliki anggaran yang terbatas untuk liburan di Jepang, solusi untuk makan irit ada di 2 tempat makan ini. Dengan harga termurah 380 Yen (setara IDR 47 ribu), kita sudah mendapatkan nasi, lauk, dan minum. Tentang minum, berbeda dengan tempat makan/ restoran di Indonesia yang mana kebanyakn minum selalu dijual terpisah. Semua tempat makan yang saya singgahi baik mahal maupun murah, menyediakan air minum secara gratis. Biasanya air putih dingin ataupun ocha dingin. Saya juga tidak mengetahui kenapa tempat makan/ restoran di Jepang menyediakan minum yang dingin. Padahal udara di sana cukup dingin pada musim gugur.

Pachinko
Pachinko merupakan tempat bermain game di Jepang, kalau di Indonesia seperti timezone. Bedanya Pachinko menjamur di mana-mana bahkan sampai ke gang-gang di pinggiran kota, di mana-mana ada Pachinko. Perbedaan lainnya adalah game-game di dalamnya sangat modern, yang belum pernah saya temukan di Jakarta. Namun beberapa game klasik juga ada.

Toilet
Di Jepang, semua closet di toilet yang saya temui berjenis duduk, dan menggunakan air (bukan tissue seperti toilet di Eropa). Namun yang unik adalah, baik pembilas/ flush ataupun penyiram bokong, dikendalikan dari sebuah panel digital yang biasanya berada di sebelah kanan pada saat kita menggunakan closet. Yang uniknya lagi seringkali pada saat kita duduk di closet, akan terasa hangat di closet tersebut di tengah dinginnya udara di musim gugur.

Saat mengunjungi Tokyo Gyoen Park, saya berkesempatan masuk ke dalam toilet umumnya. Waktu itu keadaan pada sore hari, dan matahari sudah berada di ufuk barat. Sebelum masuk ke toilet, saya melihat bahwa toilet gelap, dan karena hasrat yang tak tertahankan, akhirnya saya tetap masuk ke dalam. Namun alangkah ajaibnya bahwa lampu menyala otomatis saat saya masuk dan kembali mati otomatis saat saya keluar. “Wah, canggih juga ni. Hemat energi jadiny.” Begitu pikirku. Tidak lama setelah itu, pikiran liar pun muncul, bagaimana kalau diaplikasikan di Indonesia. “Hmm, bisa jadi tidak dikira canggih, tapi horror.” Seloroh otakku.


Ngomong-ngomong lampu otomatis, banyak rumah di Kyoto yang juga demikian. Ketika kita melintas di depan rumah seseorang dan mengenai sensornya maka lampu rumah akan menyala dan sebaliknya.

Friday, November 3, 2017

Perempuan Jepang dan Geisha

Setelah 7 hari di Jepang, telah mengkonfirmasi kepada diri saya sendiri bahwa para gadis Jepang memang relatif banyak yang cantik, pandai merias diri, serta modis, dibandingkan 10 negara lain (Asia dan Eropa) yang pernah saya kunjungi.

Hal ini pun sempat saya bahas dengan teman kuliah dahulu - sebut saja WY - yang saat ini bermukim di Jepang untuk belajar Bahasa Jepang. WY sudah menetap di Osaka sejak Mei 2017. Saya dan NK, bertemu WY untuk menghabiskan 1 hari di Kyoto (sebenarnya ini di luar rencana awal), karena kami baru mengetahui kemarin bahwa WY tinggal di Jepang. Jadilah kami bereuni sesama almamater Universitas Bina Nusantara.

Kami membahas sekali banyak hal sepanjang hari termasuk bagaimana WY bisa belajar Bahasa Jepang di Osaka, budaya Jepang, perempuan Jepang, dan tentunya negara tercinta Indonesia.

Topik-topi tersebut di atas tidak akan saya ulas dalam tulisan ini, terkecuali mengenai perempuan Jepang. Menurut WY, mayoritas perempuan di Jepang mempunyai sifat alamiah yang rendah hati, tidak suka menonjolkan diri, pandai menampilkan citra lugu, bahkan ekstrimnya “pura-pura bodoh”, semata-mata hanya untuk menghargai laki-laki. Padahal sebenarnya perempuan tersebut tahu banyak hal karena di Jepang, laki-laki masih dianggap harus mempunyai peranan yang lebih tinggi sebagai pengayom, pelindung, cerdas, tahu banyak hal, dll. Jadi perempuan mengambil peran untuk “merendah”. Tapi bukan untuk direndahkan tentunya, hanya untuk “membesarkan” (menghargai) ego alamiah laki-laki. Tentunya hal ini hanya berlaku pada hubungan pribadi antara laki-laki dan perempuan, bukan hubungan profesional. Jadi, secara linear dapat disimpulkan laki-laki akan mudah menaruh hati pada sifat perempuan yang seperti ini.

Di sisi lain, perempuan di 2 kota metropolitan terbesar -  Tokyo & Osaka - selain mempunyai sifat yang saya lukiskan di atas, banyak perempuan juga terkenal matrealistis. Hal sangat kontradiktif dengan sifat-sifat keluguan. Inilah potret perempuan Jepang yang digambarkan WY.

Geisha
Saya berkesempatan mengitari Gion di malam hari, setelah dari pagi mengunjungi banyak kuil di Kyoto. Gion bagaikan kota tak tak pernah mati, dengan segala lampu-lampu kota, pertokoan, tempat makan, hingga hiburan malam. 

Sampai pada satu titik perjalanan, saya melihat sebuah patung besar geisha. Langsung saya berselancar di internet, dan benar saja memang geisha berasal dari Gion, tepatnya Gion Corner. Pertunjukan geisha pun ada, tetapi harga tiketnya sangat mahal (bagi saya) yaitu sekitar 12.000 Yen (1 Yen = IDR 122).

Saya dan NK pun kompak tidak menonton pertujukan geisha karena mahalnya harga tiket dan juga kami cukup lelah pada hari tersebut, sehingga kami hanya berkeliling Gion. Namun sebenarnya besar keinginan saya pribadi untuk melihat geisha secara langsung. Nampaknya Tuhan mendengar dan mengabulkan  keinginan saya. Pada salah satu perempatan besar di jalan raya, kami melihat geisha di dalam taksi yang sedang berhenti karena terkena lampu merah. Bukan itu saja, pada saat kami menyeberang jalan tersebut, kami pun berpapasan langsung dengan geisha, yang dikawal okeh laki-laki berjas gelap.


Di Jepang, geisha dikenal sebagai perempuan yang memiliki kemampuan menari tradisional dan menyanyi lantunan lagu Jepang lengkap dengan dandanan tradisional Jepang. Tugas utamanya adalah menghibur (dalam arti positif) turis. Namun banyak orang yang berkonotasi negatif apabila mendengar kata geisha, mungkin juga karena menonton film Memoirs of a Geisha.

Wednesday, November 1, 2017

Fujiko Fujio Museum: Berkunjung ke Rumah Doraemon Part 1

Hari kedua di Jepang, kami berencana mengunjungi Fujiko Fujio Museum yang terletak di daerah Kawasaki. Dalam perjalanan, kami sambil berselancar di dunia maya untuk mendapatkan gambaran ataupun informasi tambahan yang diperlukan sebagai pendukung perjalanan.

Kami agak kaget karena baru mengetahui bahwa tiket tidak bisa dibeli langsung di museum, melainkan harus dibeli di Lawson. Akhirnya kami mencari Lawson terdekat di daerah stasiun Kawasaki, dan ketemu!

Kami langsung masuk ke Lawson dan kemudian menjelaskan kepada petugas Lawson bahwa kami ingin membeli tiket museum. Petugas yang juga kasir Lawson tersebut dengan ramah menyambut kami serta mengarahkan (mempersilakan) dengan syarat lima jari di tangannya yang diarahkan ke sebuah mesin yang berada 2 meter di samping kirinya. Saat itu juga, pikiran saya langsung berkecamuk, “Alamak, beli makan dengan mesin saja belum lancar...”

Tapi apa daya, kami tidak mempunyai pilihan lain, dan benar saja mesin tersebut tidak dilengkapi Bahasa Inggris. NK sebagai pemilik IQ superior langsung mengambil alih kendali untuk berhadapan satu lawan satu dengan mesin tersebut. Sedangkan saya berdiri di belakang agak serong kirinya  memberikan semangat dan dukungan moril kepadanya, bahwa ia mampu menaklukkan mesin tersebut.!

Saat itu keadaan Lawson sedang ramai, banyak pembeli yang antri membayar atas pembelian barang. Setelah lima menit kutak katik dengan mesin itu tanpa hasil, sambil melayani pembeli, petugas yang sedang sibuk itu mulai sadar dan bermaksud untuk membantu dengan memberikan clue kepada kami yang belum juga paripurna. NK menatap serius penjelasan petugas tersebut, sedangkan saya manggut-manggut. Namun kami berdua gagal menangkap penjelasan tersebut karena semua dijelaskan dengan Bahasa Jepang.

Tidak ada yang kami dapat lakukan selain mencoba terus dan terus. Sepuluh menit berlalu sejak kedatangan kami. Petugas masih sibuk melayani para pembeli, dan saya mulai pasrah dengan keadaan ini. Saya pelan-pelan mencoba meminta waktu petugas itu agar membantu kami dengan sesekali melambaikan tangan kepadanya dengan harapan ia berbaik hati membantu dibtengah kesibukannya. Sementara NK terus mencoba pencat pencet. Sebetulnya, kami sudah sampai di tahap mengisi Nama dan No telepon, tapi tidak bisa juga selesai, setelah sebelumnya memilih tanggal kunjungan, jam kunjungan, dll.

Tidak lama kemudian petugas tersebut seperti melompati badannya ke arah samping agar dapat menjangkau mesin tersebut yang terhalang meja kasir, dan kemudian memencetkan nama dengan 2 suku kata (entah nama siapa yang di input),  sedangkan dari awal kami hanya memasukkan 1 suku kata, dan juga entah no telepon siapa yang dimasukkan petugas dan tiba-tiba saja selesai,
Tiket langsung keluar. Setelah itu kami membayar harga tiket ke petugas Lawson tersebut. Harga tiketnya adalah 1000 Yen untuk 1 orang. Kami pun melanjutkan perjalanan ke museum. 

(bersambung)


Monday, October 30, 2017

Tokyo Kota Tersibuk ? Shinkansen Kereta Tercepat?

Dalam perjalanan menuju Gunung Fuji, saya dan NK berangkat cukup agak pagi yaitu 07.30 dari Akihabara- tempat kami menginap - menuju Tokyo, hanya dua stasiun kereta tepatnya. Senin cerah tersebut, aura kesibukan sungguh terasa di setiap stasiun. Orang-orang berpakaian necis dengan jas dan blazer berjalan cepat bahkan beberapa berlarian. Ketika kami naik kereta Shinkansen pun aura kesibukan tetap kental. Orang-orang tidak ada yang mengobrol, senyum, tertawa, apalagi bercanda di dalam gerbong, semua sangat serius baik bekerja, tidur tapi tetap siaga, ataupun sibuk dengan gawai masing-masing. Jadi, tidak ada suara di dalam gerbong kecuali suara mesin Shinkanzen itu sendiri yang terdengar tidak kalah serius mengantar kami semua.


Berbicara tentang Shinkansen, kereta ini memiliki penampakan layaknya kereta luar kota di Indonesia, termasuk interiornya. Perbedaannya terletak pada kecepatannya. Kereta berkecepatan 300 km/jam tidak mengurangi faktor kenyamanan penumpang sedikit pun. Bahkan saya sempat berpikir, apakah saya sedang menaiki Shinkansen yang cepat itu karena tidak ada perbedaan yang berarti. Namun ketika saya melihat ke arah luar jendela, maka jelas sudah kekeliruan keraguan saya bahwa, ini Shinkansen!

(Katanya) Gyokatsu Motomura itu Enak

Banyak sekali rekan-rekan Indonesia yang merekomendasikan kepada teman saya - NK agar mencicipi Gyokatsu Motomura. Kata mereka, Gyokatsu Motomura merupakan makanan makanan wajib. Begitu keterangan NK kepada saya. Akhirnya kami tanya si mbah gugel untuk mengetahui lokaso tempat makam tersebut, dan karena kami sedang berada di Shibuya, kami menjangkau Gyokatsu Motomura di daerah tersebut. Setelah berjalan kaki selama +- 12 menit di bawah guyuran hujan, tibalah kami di kedai tersebut.

Dari luar kedai tersebut terlihat cukup kecil, dan tidak mampu menampung semua calon pembeli. Hal tersebut terlihat dari antrian calon pembeli yang mengular sampai keluar kedai. Sore itu kondisi hujan (bukan gerimis), kira-kira pukul 7 malam waktu jepang. Namun para calon pembeli tetap setia mengikuti antrian dengan payung di atas kepala. Setelah +- 15 menit mengantri tanpa kejelasan informasi apapun, tibalah sang pramuniaga menghampiri calon pembeli yang sedang antri satu per satu dan sampailah pada kami. Ia menginformasikan kepada saya dan NK bahwa waktu tunggu adalah 1 jam 10 menit, serta menyakan kesediaan kami menunggu. Tanpa pikir panjang, NK langsung mengiyakan dan melanjutkan dengan pemesanan menu yang sebelumnya sudah disiapkan.

Di sisi lain, mendengar jawaban tersebut saya langsung menelan ludah di tengah udara dingin dan cuaca hujan di Shibuya. Saya menoleh melihat raut wajah NK yang yakin, tegas, dan lapar. Pada saat itu, saya tak lagi mempunyai kekuatan untuk berargumen lebih lanjut agar kami mencari tempat makan lain. Ditambah lagi, pengalaman mengatakan tidak ada yang mampu melawan keyakinan orang yang sedang lapar saat memesan makanan yang diinginkannya, setidaknya begitu pikirku saat itu. Jadi saya diam dan menunggu tanpa juga mengeluh. Namun kelelahan tak lagi dapat membohongi keadaan, karena kami sangat lelah setelah berjalan kaki seharian mengitari beberapa objek wisata tanpa henti.

Setelah 1 jam 10 menit, belum ada tanda-tanda kami masuk kedai. Memang antrian semakin berkurang, akan tetapi kami belum juga bisa mendekat ke pintu masuk kedai. Baru setelah 1 jam 30 menit akhirnya kami dipersilakan masuk, dan saya menghitung bahwa hanya terdapat meja dan kursi sebanyak 10 buah yang dapat diisi pengunjung dengan jumlah yang sama. Sedangan kedai tersebut tidak melayani bungkus dan bawa pulang (take away). Singkat cerita, makanan disajikan. Nasi putih, kuah sup, sayur, daging katsu yang siap dipanggang, kecap asin, serta bumbu seperti bawang putih dengan campuran lainnya. Kemudian sang koki menjelaskan cara memakan makanan tersebut, yaitu dengan cara dicocol dengan kecap asin dan bumbu, kemudian dipanggang. Dan hasilnya adalah, kenikmatan yang sempurna tiada tara. Gabungan hasil dari kelelahan, kelaparan, keteguhan, dan tentunya kesabaran. Semua terbayar lunas!

Oh ya, hal unik lainnya di Jepang, seluruh minuman dari tempat makan yang saya singgahi selalu menyediakan air putih ditambah es batu, atau setidak-tidaknya air dingin sebagai sajian minuman. Ada yang bisa membantu jawab kenapa? Tentunya ini sangat kontras dengan cuaca di luar cukup dingin (musim gugur), yaitu +- 15 derajat celcius.

Keresahan Makan Siang di Negeri Samurai Biru

Sebelum tiba di Jepang, sudah terbayang dalam benak saya bahwa saya akan mencoba berbagai macam makanan terutama sushi dan ramen.

Setibanya di Akihabara - tempat kami menginap - saya dan NK berjalan keliling untuk makan siang. Kami melihat banyak pilihan makanan yang membuat lidah tidak sabar untuk bergoyang, dan kebetulan kami berdua juga tidak mempunyai pantangan terhadap makanan apapun. Singkat cerita, sampailah kami di sebuah kedai ramen yang menurut penilaian sekejap cukup menggugah selera. Akhirnya kami memutuskan untuk makan di kedai tersebut. Sebelum masuk dan duduk di kedai tersebut, kami harus membayar terlebih dahulu menggunakan mesin. Tidak hanya membayar, tetapi juga untuk memesan makanan yang kami inginkan. Alhasil setelah kami mencoba berulang kali selama +- 10 menit, kami belum juga berhasil menaklukkan mesin tersebut, karena seluruh tulisan pada mesin tersebut berbahasa Jepang! Jadi, kami tidak jadi makan di tempat tersebut T_T

Perlu diketahui bahwa di Jepang, hampir semua kedai makanan baik kedai besar maupun kedai sederhana menggunakan mesin bayar-pesan.

Setelah kejadian konyol, memalukan, serta menyedihkan tersebut, kami selalu mencari makanan yang tidak hanya sesuai dengan selera kami, tetapi terutama juga tidak menggunakan mesin bayar dan pesan. Mesin bayar-pesan menjadi momok kami bedua, selama 2 hari pertama di Jepang. Dasar, Ndeso!

e-Paspor ke Jepang

Pada 27 Oktober 2017 - 5 November 2017, saya akan berangkat untuk berlibur ke Jepang. Sebenarnya liburan kali ini saya bergabung dengan rombongan teman semasa kuliah (sebut saja NK) beserta teman-teman kantornya. Namun karena satu dan lain hal, secara mendadak teman-teman NK membatalkan rencana ke Jepang, 2-3 bulan sebelum keberangkatan dengan alasan yang beragam. Singkat cerita, dari rencana awal total ada 5 orang, hanya saya dan NK yang berangkat ke Jepang.

Setelah membeli tiket pesawat Garuda untuk pulang pergi (Jakarta-Narita-Jakarta) seharga IDR 6.6jt, saya melakukan perpanjangan paspor. Saya memperpanjang paspor menggunakan e-paspor. Selain tujuan mendapatkan paspor dengan teknologi terkini, saya juga mengetahui kegunaan lainnya yaitu tidak perlunya visa Jepang apabila menggunakan e-paspor. Cukup izin berlibur saja. Harga pembuatan e-paspor +- 600rban dengan jangka waktu pembuatan 3 minggu di imigrasi Jakarta Barat. Sedangkan izin berlibur ke Jepang diberikan cuma-cuma oleh Kedubes Jepang (saat ini pengurusan visa atau izin berlibur dilakukan di Ciputra World Shopping Avenue). Izin tersebut diterbitkan hanya satu hari sejak pengajuan, dan kita diperbolehkan maksimal berada di Jepang selama 15 hari kalender berturut-turut, selama kurun periode 3 tahun sejak izin terbit kita bebas ke Jepang kapan pun asalkan tidak melebihi 15 hari.


Dibandingkan dengan NK yang masih menggunakan paspor konvensional sehingga masih harus mengurus visa seharga +- IDR 350rb, saya merekomendasikan lebih baik membuat paspor baru ataupun memperpanjang paspor menggunakan e-paspor.

Sunday, July 30, 2017

Racun Serangga

Suatu kali saya pergi ke sebuah swalayan besar di Jakarta. Saya mendorong sebuah troli, kemudian tibalah di bagian rak racun serangga.

Saya berhenti sejenak melihat sekujur rak, dan kemudian memperhatikan beberapa jenis dan merk racun serangga. Mata saya tertuju pada racun serangga jenis semprot. Tak lama setelah itu, seorang pramuniaga perempuan muda menghampiri saya kemudian berkata, "Kakak, sedang ada promo dari Hot. Harganya jadi cuma 25rb dari harga 35rb." Saya hanya tersenyum, kemudian menolehkan pandangan ke rak racun serangga merk Hot. Setelah mengamati sesaat, saya merespon pramuniaga tadi, "Oh yang promo cuma yang orens dan ungu ya?" Jawab pramuniaga, "Betul, ka.." Kemudian saya beralih ke merk lain untuk sekadar membandingkan harga dan kuantitas, maklum saya sempat lama hiatus ke swalayan. Namun pramuniaga gigih tersebut kembali menghampiri dan berucap, "Ka, bisa dicoba dulu wanginya." Kemudian saya menjawab, "Nggak usah Mbak, terima kasih." sambil senyum santai, dan kembali ditimpali olehnya, "Gak apa-apa ka, dicoba dulu aja, ini testernya ada." Saya menoleh kepadanya, menatap matanya, dengan kalem dan senyum kemudian bilang, "Nggak  dulu ya Mbak. Terima kasih."

Kemudian saya meninggalkan lorong racun serangga serta pramuniaga tersebut dan berjalan menyusuri lorong swalayan sambil berpikir, apakah ini sebuah konspirasi terselubung dari rencana pembunuhan yang persuasif ataukah sekadar kebodohan yang luput disembunyikan? Ah, sudahlah...