Sunday, November 5, 2017

Jepang Last Part: Hal - Hal Menarik

Orang Tokyo dan Orang Osaka
Layaknya orang-orang ibukota negara maju, warga Tokyo sangat sibuk dan individualistis, bahkan bisa dibilang seperti robot. Bahkan beberapa rekan Indonesia yang kami temui di Jepang pun mengiyakan hal tersebut. Hal ini agak berbeda dengan warga Osaka, yang sejatinya merupakan kota terbesar kedua di Jepang. Warga Osaka lebih “santai” (dalam artinya tidak se-robot warga Tokyo). Namun secara umum seluruh orang Jepang mempunyai kesamaan, yaitu disiplin, tepat waktu, pekerja keras, dan baik. Khusus poin terakhir yang disebutkan, akan diulas dalam penjelasan di bawah ini.

Orang Jepang Baik
Baik memiliki arti yang sangat luas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata baik berarti elok, patuh, teratur, rapi, tidak ada celanya, tidak jahat, dsb. Namun baik yang saya maksud akan saya jelaskan lebih jauh dengan contoh-contoh sebagai berikut. Pertama, selama saya berada 9 hari di Jepang (Akihabara, Odawara, Osaka, Kyoto) saya merasakan keadaan yang aman, sekalipun beberapa kali harus pulang hingga larut karena padatnya jadwal yang kami susun. Selain itu, tidak ada copet ataupun pihak - pihak yang berusaha menggunakan kesempatan dalam kesempitan di tengah kebingungan baik dalam perjalanan, menghitung uang, berjalan di gang kecil, dll. Ketiga, pada saat kami mengunjungi Fujiko Fujio Museum, hari sedang hujan. Saya dan NK menggunakan payung dan juga pelindung tas. Tanpa disadari oleh NK dan saya, pelindung tas NK terjatuh, tiba-tiba kami sadar bahwa ada seorang laki-laki berjas (perkiraan saya usia +- 40 tahun) mengantarkan pelindung tas NK di tengah ramainya situasi stasiun saat itu. Yang pasti pelindung tas tersebut tidak jatuh di dekat kami, karena saya mendengar panggilan dari seseorang yang saya abaikan karena saya yakin bukan kami yang dipanggil karena kami tidak mengenal orang Jepang mana pun. Kejadian tersebut terjadi di stasiun Kawasaki, dan semakin membuat saya respek terhadap orang Jepang.

Tsukiji Market
Belum lengkap rasanya makan sushi ataupun sashimi kalau belum ke pasar tradisional tsukiji yang terletak di pinggir kota Tokyo. Kita bisa makan sushi dan sashimi dari ikan yang baru dipotong. Bahkan beberapa toko memotong ikan di depan tokonya sehinggak kita bisa melihat prosesnya. Selain itu, banyak juga makanan-makanan lainnya di pasar ini. Saya jamin, gak nyesel kalau datang ke sini. Oh ya, kalau berniat datang, baiknya datang di pagi hari.

Ichiran Ramen
Ini adalah ramen terenak se-dunia. Setidaknya itu menurutku. Saya memang bukan penggemar fanatik ramen, tetapi dari seluruh ramen yang saya makan di Indonesia dan Jepang, ramen inilah yang paling meninggalkan kesan mendalam. Hal ini pun diiyakan oleh teman-teman yang sudah pernah makan. Sayangnya bagi saudara-saudaraku muslim tidak boleh menikmati ramen ini karena tidak halal. Ichiran Ramen buka 24 jam dan memiliki cabang yang banyak di kota-kota di Jepang.

Matsuya dan Yoshinoya
Apabila memiliki anggaran yang terbatas untuk liburan di Jepang, solusi untuk makan irit ada di 2 tempat makan ini. Dengan harga termurah 380 Yen (setara IDR 47 ribu), kita sudah mendapatkan nasi, lauk, dan minum. Tentang minum, berbeda dengan tempat makan/ restoran di Indonesia yang mana kebanyakn minum selalu dijual terpisah. Semua tempat makan yang saya singgahi baik mahal maupun murah, menyediakan air minum secara gratis. Biasanya air putih dingin ataupun ocha dingin. Saya juga tidak mengetahui kenapa tempat makan/ restoran di Jepang menyediakan minum yang dingin. Padahal udara di sana cukup dingin pada musim gugur.

Pachinko
Pachinko merupakan tempat bermain game di Jepang, kalau di Indonesia seperti timezone. Bedanya Pachinko menjamur di mana-mana bahkan sampai ke gang-gang di pinggiran kota, di mana-mana ada Pachinko. Perbedaan lainnya adalah game-game di dalamnya sangat modern, yang belum pernah saya temukan di Jakarta. Namun beberapa game klasik juga ada.

Toilet
Di Jepang, semua closet di toilet yang saya temui berjenis duduk, dan menggunakan air (bukan tissue seperti toilet di Eropa). Namun yang unik adalah, baik pembilas/ flush ataupun penyiram bokong, dikendalikan dari sebuah panel digital yang biasanya berada di sebelah kanan pada saat kita menggunakan closet. Yang uniknya lagi seringkali pada saat kita duduk di closet, akan terasa hangat di closet tersebut di tengah dinginnya udara di musim gugur.

Saat mengunjungi Tokyo Gyoen Park, saya berkesempatan masuk ke dalam toilet umumnya. Waktu itu keadaan pada sore hari, dan matahari sudah berada di ufuk barat. Sebelum masuk ke toilet, saya melihat bahwa toilet gelap, dan karena hasrat yang tak tertahankan, akhirnya saya tetap masuk ke dalam. Namun alangkah ajaibnya bahwa lampu menyala otomatis saat saya masuk dan kembali mati otomatis saat saya keluar. “Wah, canggih juga ni. Hemat energi jadiny.” Begitu pikirku. Tidak lama setelah itu, pikiran liar pun muncul, bagaimana kalau diaplikasikan di Indonesia. “Hmm, bisa jadi tidak dikira canggih, tapi horror.” Seloroh otakku.


Ngomong-ngomong lampu otomatis, banyak rumah di Kyoto yang juga demikian. Ketika kita melintas di depan rumah seseorang dan mengenai sensornya maka lampu rumah akan menyala dan sebaliknya.

Friday, November 3, 2017

Perempuan Jepang dan Geisha

Setelah 7 hari di Jepang, telah mengkonfirmasi kepada diri saya sendiri bahwa para gadis Jepang memang relatif banyak yang cantik, pandai merias diri, serta modis, dibandingkan 10 negara lain (Asia dan Eropa) yang pernah saya kunjungi.

Hal ini pun sempat saya bahas dengan teman kuliah dahulu - sebut saja WY - yang saat ini bermukim di Jepang untuk belajar Bahasa Jepang. WY sudah menetap di Osaka sejak Mei 2017. Saya dan NK, bertemu WY untuk menghabiskan 1 hari di Kyoto (sebenarnya ini di luar rencana awal), karena kami baru mengetahui kemarin bahwa WY tinggal di Jepang. Jadilah kami bereuni sesama almamater Universitas Bina Nusantara.

Kami membahas sekali banyak hal sepanjang hari termasuk bagaimana WY bisa belajar Bahasa Jepang di Osaka, budaya Jepang, perempuan Jepang, dan tentunya negara tercinta Indonesia.

Topik-topi tersebut di atas tidak akan saya ulas dalam tulisan ini, terkecuali mengenai perempuan Jepang. Menurut WY, mayoritas perempuan di Jepang mempunyai sifat alamiah yang rendah hati, tidak suka menonjolkan diri, pandai menampilkan citra lugu, bahkan ekstrimnya “pura-pura bodoh”, semata-mata hanya untuk menghargai laki-laki. Padahal sebenarnya perempuan tersebut tahu banyak hal karena di Jepang, laki-laki masih dianggap harus mempunyai peranan yang lebih tinggi sebagai pengayom, pelindung, cerdas, tahu banyak hal, dll. Jadi perempuan mengambil peran untuk “merendah”. Tapi bukan untuk direndahkan tentunya, hanya untuk “membesarkan” (menghargai) ego alamiah laki-laki. Tentunya hal ini hanya berlaku pada hubungan pribadi antara laki-laki dan perempuan, bukan hubungan profesional. Jadi, secara linear dapat disimpulkan laki-laki akan mudah menaruh hati pada sifat perempuan yang seperti ini.

Di sisi lain, perempuan di 2 kota metropolitan terbesar -  Tokyo & Osaka - selain mempunyai sifat yang saya lukiskan di atas, banyak perempuan juga terkenal matrealistis. Hal sangat kontradiktif dengan sifat-sifat keluguan. Inilah potret perempuan Jepang yang digambarkan WY.

Geisha
Saya berkesempatan mengitari Gion di malam hari, setelah dari pagi mengunjungi banyak kuil di Kyoto. Gion bagaikan kota tak tak pernah mati, dengan segala lampu-lampu kota, pertokoan, tempat makan, hingga hiburan malam. 

Sampai pada satu titik perjalanan, saya melihat sebuah patung besar geisha. Langsung saya berselancar di internet, dan benar saja memang geisha berasal dari Gion, tepatnya Gion Corner. Pertunjukan geisha pun ada, tetapi harga tiketnya sangat mahal (bagi saya) yaitu sekitar 12.000 Yen (1 Yen = IDR 122).

Saya dan NK pun kompak tidak menonton pertujukan geisha karena mahalnya harga tiket dan juga kami cukup lelah pada hari tersebut, sehingga kami hanya berkeliling Gion. Namun sebenarnya besar keinginan saya pribadi untuk melihat geisha secara langsung. Nampaknya Tuhan mendengar dan mengabulkan  keinginan saya. Pada salah satu perempatan besar di jalan raya, kami melihat geisha di dalam taksi yang sedang berhenti karena terkena lampu merah. Bukan itu saja, pada saat kami menyeberang jalan tersebut, kami pun berpapasan langsung dengan geisha, yang dikawal okeh laki-laki berjas gelap.


Di Jepang, geisha dikenal sebagai perempuan yang memiliki kemampuan menari tradisional dan menyanyi lantunan lagu Jepang lengkap dengan dandanan tradisional Jepang. Tugas utamanya adalah menghibur (dalam arti positif) turis. Namun banyak orang yang berkonotasi negatif apabila mendengar kata geisha, mungkin juga karena menonton film Memoirs of a Geisha.

Wednesday, November 1, 2017

Fujiko Fujio Museum: Berkunjung ke Rumah Doraemon Part 1

Hari kedua di Jepang, kami berencana mengunjungi Fujiko Fujio Museum yang terletak di daerah Kawasaki. Dalam perjalanan, kami sambil berselancar di dunia maya untuk mendapatkan gambaran ataupun informasi tambahan yang diperlukan sebagai pendukung perjalanan.

Kami agak kaget karena baru mengetahui bahwa tiket tidak bisa dibeli langsung di museum, melainkan harus dibeli di Lawson. Akhirnya kami mencari Lawson terdekat di daerah stasiun Kawasaki, dan ketemu!

Kami langsung masuk ke Lawson dan kemudian menjelaskan kepada petugas Lawson bahwa kami ingin membeli tiket museum. Petugas yang juga kasir Lawson tersebut dengan ramah menyambut kami serta mengarahkan (mempersilakan) dengan syarat lima jari di tangannya yang diarahkan ke sebuah mesin yang berada 2 meter di samping kirinya. Saat itu juga, pikiran saya langsung berkecamuk, “Alamak, beli makan dengan mesin saja belum lancar...”

Tapi apa daya, kami tidak mempunyai pilihan lain, dan benar saja mesin tersebut tidak dilengkapi Bahasa Inggris. NK sebagai pemilik IQ superior langsung mengambil alih kendali untuk berhadapan satu lawan satu dengan mesin tersebut. Sedangkan saya berdiri di belakang agak serong kirinya  memberikan semangat dan dukungan moril kepadanya, bahwa ia mampu menaklukkan mesin tersebut.!

Saat itu keadaan Lawson sedang ramai, banyak pembeli yang antri membayar atas pembelian barang. Setelah lima menit kutak katik dengan mesin itu tanpa hasil, sambil melayani pembeli, petugas yang sedang sibuk itu mulai sadar dan bermaksud untuk membantu dengan memberikan clue kepada kami yang belum juga paripurna. NK menatap serius penjelasan petugas tersebut, sedangkan saya manggut-manggut. Namun kami berdua gagal menangkap penjelasan tersebut karena semua dijelaskan dengan Bahasa Jepang.

Tidak ada yang kami dapat lakukan selain mencoba terus dan terus. Sepuluh menit berlalu sejak kedatangan kami. Petugas masih sibuk melayani para pembeli, dan saya mulai pasrah dengan keadaan ini. Saya pelan-pelan mencoba meminta waktu petugas itu agar membantu kami dengan sesekali melambaikan tangan kepadanya dengan harapan ia berbaik hati membantu dibtengah kesibukannya. Sementara NK terus mencoba pencat pencet. Sebetulnya, kami sudah sampai di tahap mengisi Nama dan No telepon, tapi tidak bisa juga selesai, setelah sebelumnya memilih tanggal kunjungan, jam kunjungan, dll.

Tidak lama kemudian petugas tersebut seperti melompati badannya ke arah samping agar dapat menjangkau mesin tersebut yang terhalang meja kasir, dan kemudian memencetkan nama dengan 2 suku kata (entah nama siapa yang di input),  sedangkan dari awal kami hanya memasukkan 1 suku kata, dan juga entah no telepon siapa yang dimasukkan petugas dan tiba-tiba saja selesai,
Tiket langsung keluar. Setelah itu kami membayar harga tiket ke petugas Lawson tersebut. Harga tiketnya adalah 1000 Yen untuk 1 orang. Kami pun melanjutkan perjalanan ke museum. 

(bersambung)