Pada medio 90an, muda mudi tidak
sudi menggunakan batik karena apabila mengenakan pakaian tersebut, maka akan
terdengar celoteh, “mau kemana Pak Lurah?” Stigma semacam ini yang membuat
kebanggan kita terhadap budaya sendiri menjadi luntur.
“Untungnya” pada tahun
2009 Malaysia mengklaim batik sebagai budaya mereka, sehingga kita semua
tersentil, marah, dan kecewa, yang mana hal ini berakibat positif dan bisa kita
nikmati bersama buahnya sampai saat ini, yaitu kita semua cinta dan bangga
menggunakan batik. Apakah kita harus berterima kasih kepada Malaysia? Sebagai
informasi, pada saat itu, akhirnya UNESCO pun sampai harus turun tangan dan
pada akhirnya mengakui batik berasal dari Indonesia. Sebetulnya tidak hanya
batik yang diklaim oleh Negeri Jiran
tersebut, tetapi juga Reog Ponorogo, Tari Pendet, Angklung, Tari Tortor, dll.
Belakangan juga muncul meme, bahwa
penyanyi Agnez Mo diklaim oleh netizen Malaysia, dan disambut kembali dengan
kemarahan netizen Indonesia. Namun sebenarnya hal ini dilakukan oleh mereka
hanya untuk menggoda kita yang dianggap mudah tersulut. Tidak mau kalah dengan
mereka, kita juga membalas misalnya saja rendang yang juga katanya diklaim
berasal dari Malaysia. Padahal semua orang Indonesia tahu, kalau rendang
berasal dari daging sapi.
Saya sendiri juga tidak memahami apa
yang menjadi motivasi negara tetangga tersebut banyak mengklaim budaya kita. Berkaca
ke diri sendiri, sebagai Bangsa Indonesia, ketika menyaksikan Barongsai
misalnya, atau tari-tarian dari Timur Tengah, dan budaya-budaya lainnya, kita
hanya menikmatinya saja – tanpa ada pemikiran sedikit pun bahwa kita ingin
mengakui budaya tersebut adalah budaya asli Indonesia. Meskipun di sisi lain orang-orang keturunan Tionghoa
ataupun orang-orang keturunan Timur Tengah telah turun temurun tinggal di
Indonesia dan menjadi WNI – sebagaimana alasan Malaysia saat mengklaim budaya-budaya
kita.
Jadi, apakah “serangan-serangan dari luar” yang
mampu membuat kita bangga akan Indonesia?