Wednesday, February 28, 2018

Berbuat Baik

Berbuat baik tidak sesimpel yang dibayangkan. Setidaknya menurutku begitu. Seringkali pamrih atau juga disalahartikan menjadi biang keladinya. Banyak orang senang berbuat baik, tapi perbuatan baik tersebut belum tentu menghasilkan hal yang baik bagi si pemberi maupun si penerima. Perbuatan baik semacam ini hanya menjadi derita bagi kedua belah pihak.

Contohnya aku sendiri, ketika suatu kali aku memberikan kue lapis legit yang menjadi kue favoritku sejak lama kepada seorang kawan, aku akan menunggu responnya untuk mencicipi, atau minimal aku akan bertanya kepadanya entah esok, beberapa hari kemudian, ataupun saat kesempatan bertemu dengannya. “Bagaimana kuenya, enak?”, pertanyaan yang hanya sekadar basa-basi untuk mengharapkan jawaban “enak”. Apabila jawabannya enak, senanglah hatiku. Selesailah perkara. Namun apabila jawabannya selain itu, semisal “kemanisan” atau “kurang cocok”, mungkin aku sudah menyiapkan berbagai pembelaan terhadap kue lapis lagit favoritku tersebut seakan aku sendiri si pembuat kue, atau lebih lagi anggapan seakan pribadiku yang sedang diserang. Penghinaan atas kue lapis legit favoritku membawa derita tersendiri bagiku. Tentunya memiliki mental seperti ini membuatku tidak nyaman, karena pertemanan kami dipertaruhkan hanya karena persoalan sepele, yaitu kue lapis legit. Padahal sejak awal maksudnya berbuat baik, tapi hasilnya menjadi tidak baik.

Di sisi lain, aku juga pernah mengalami di sisi sebaliknya. Ketika menerima hadiah ulang tahun berupa pakaian dari seorang teman. Tentu, aku sangat bersyukur karena telah dikelilingi oleh orang-orang yang baik yang mengasihiku dan memperhatikanku. Namun adakalanya kita kurang menyukai hadiah yang diberikan kepada kita. Lantas, tak pantas juga kita tolak pemberian tersebut karena dari teman baik yang hendak berbagi kebaikannya. Kebaikan tersebut dibarengi dengan pertanyaan, “kok gak pernah dipakai bajunya, gak suka ya?” Saat masih anak-anak, mungkin dengan lantang dan ceplas-ceplos aku akan menjawab tanpa beban “tidaakkk”. Namun selayaknya orang dewasa lainnya, aku juga sudah dibekali kemampuan “bijaksana” yang dimiliki banyak orang dewasa lainnya dengan menjawab “sukaaa” belum lagi ditambah senyuman (setengah palsu). Lagi-lagi hubungan baik menjadi taruhannya.

Kedua pengalamanku tersebut mengajarkanku bahwa ternyata tingkat kebaikanku masih berada di tingkat terendah dari seluruh tatanan tingkat kebaikan, satu tingkat di atas tingkat netral, dua tingkat di atas tingkat kurang baik. Jadi, apabila di kemudian hari aku memberikan sesuatu kepada orang lain, aku belajar untuk tidak menambahkan dengan keingintahuanku lebih lanjut tentang apa hasil dari perbuatan baikku, karena maksud baikku terkhusus memang hanya sampai berbuat baik bukan mencari tahu hasil dari perbuatan baikku. Sekian.

Oh ya, untuk contoh kedua, aku belum menemukan jawabannya. Tapi kalau semua sepakat tidak mencari tahu hasil perbuatan baik masing-masing, berarti aku tidak perlu berjerih payah menemukan jawabannya. J

Sunday, February 25, 2018

Rasa itu Terseleksi

Orang bilang, love is easy. Benarkah? Sayangnya bagiku tidak. Namun tak jua berarti sebaliknya.

Mayoritas, cinta turun dari mata ke hati. Selanjutnya? Terserah anda, begitu bunyi sebuah iklan lawas.

Kalau naksir, gaya garuk-garuk, gaya tertawa, gaya bicara, gaya bengong, gaya menguap, bahkan ngupil pun bisa terlihat indah. Sebaliknya, secantik apapun seorang perempuan, kalau kita nggak sreg dengan gaya garuk-garuknya, gaya tertawanya, gaya bicaranya, gaya bengongnya, gaya menguapnya, semua bisa ambyar seketika. Apalagi ngupil, jangan ditanya lagi. Bukan kartu kuning lagi taruhannya, tapi kartu merah plus larangan tampil di laga-laga selanjutnya.

Artinya? Rasa itu terseleksi.

Lainnya, cinta berjalan karena terbiasa. Terpupuk, tersiram, terjemur, dan tumbuh karena kecocokan dan tak berasal dari pandangan pertama, mungkin pandangan keseribu atau malah keserbapak.

Tak hanya melahirkan tawa, cinta tak urung menerbitkan air mata. Tak berarti cengeng, karena air mata bukanlah tanda kelemahan, apalagi kekalahan. Otomatis, tawa tak selalu menjadi tanda kesenangan dan kemenangan.

Tanpa keduanya - tawa dan air mata, cinta belumlah paripurna.

Saturday, February 17, 2018

Jangan Sampai...

Setiap Imlek atau ulang tahun, orang-orang selalu memberikan doa-doa dan harapan-harapan yang baik-baik. Namun hal-hal baik yang menghampiri manusia belum tentu menghasilkan buah yang baik pula. Pun sebaliknya, hal-hal buruk yang terjadi belum tentu menghasilkan buah yang buruk pula. Ada banyak contoh mengenai hal ini. Tentunya, bukan berarti kita mendoakan hal-hal buruk. Kita boleh tidak sependapat, tetapi kira-kira begitu perenunganku pribadi pada Imlek kali ini.

Sejak awal karirku (+/- 6 tahun lalu), setiap bertemu emak (nenekku), ia selalu menyampaikan doa dan harapannya setiap pertemuan kami tepat ketika sebelum kami berpisah satu sama lain. Sambil memelukku dan menempelkan kedua pipinya di pipiku, ia berbisik demikian, "terima kasih ya, ted. Emak berdoa semoga kamu cepet naik pangkat." dan aku selalu mengamini doa emak tersebut. Setelah kurenungkan, memang karirku cukup cepat menanjak, dan aku yakin hingga kini bahwa semua ini karena anugerah dari Tuhan.

Di Imlek kali ini, doa emak agak dimodifikasi sedikit - entah ide atau ilham dari siapa/mana - bisikannya, "terima kasih ya, ted. Emak berdoa semoga kamu bisa jadi presiden direktur." Lagi-lagi aku mengamini meskipun agak terkaget juga mendengarnya. Di sisi samping, kanan kiri kedua adikku terkekeh "terkesan meremehkan" doa emak mereka kepadaku. Aku hanya tersenyum melirik mereka, tanpa tahu seharusnya aku di pihak siapa saat itu.

Saat ini, aku hanya berpikir demikian, jangan sampai materi, pekerjaan, rezeki, kekayaan, kesehatan, bahkan pasangan, dan hal-hal baik lainnya, ataupun sebaliknya yaitu hal-hal buruk yang menimpaku, dapat menjauhkanku dari Tuhan. Biarlah Tuhan yang menolong.

TN

Imlek 2018

Perayaan Tahun Baru Imlek 2018 jatuh pada hari Jumat, 16 Februari 2018. Seperti halnya tahun baru lainnya (Masehi, Hijriyah, Saka), Imlek merupakan tahun baru yang dirayakan oleh orang-orang Tionghoa dan keturunannya. Sayangnya beberapa orang di Indonesia masih memahami bahwa Imlek identik dengan hari besar keagamaan.

Saya sendiri merayakan Imlek dengan berkumpul bersama keluarga besar termasuk nenek (emak). Tidak ada perjanjian khusus diantara keluarga besar papi, tetapi seperti ada kesepakatan tidak tertulis untuk berkumpul di rumah emak setiap Imlek. Biasanya kami makan bersama, mengobrol, bersenda gurau, saling bercerita, dan berbagi keceriaan. Tidak lupa beberapa anggota keluarga membagikan angpao sebagai wujud kasih dan perhatian kepada anggota keluarga lainnya.

Pada Imlek kali ini, ada hal yang cukup menarik perhatian saya. Emak sebagai orang tertua di keluarga besar memberikan nasihat kepada anak-anaknya termasuk papi (anak kandungnya) dan mami. Hal yang sudah langka bagi saya. Sehebat apapun papi mami, setua apapun papi mami, sebijaksana apapun papi mami, bahkan papi mami yang sudah masuk usia pensiun, tidak juga mempunyai imunitas dari nasihat orang tua. Ya, begitulah orang tua, mereka selalu menganggap anak selayaknya anak, tidak memandang umur, anak tetaplah anak. Bagaimana seharusnya sikap anak? Menurut hemat saya, menghormati dan menghargai nasihat orang tua tersebut. Meskipun sebagai anak saya juga menyadari bahwa kadang sebagai anak, saya yang sudah dewasa dan mandiri merasa diatur, digurui, dan bahkan kadang nasihat orang tua tidak sesuai dengan pemikiran kita. Namun sikap hormat tidak boleh berkurang sedikit pun. Sebab ada tertulis, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” (Kel 20:12).

Selamat Tahun Baru Imlek untuk Teman dan Sahabat yang merayakan. Sincun Kionghi.

TN