Berbuat baik tidak sesimpel yang
dibayangkan. Setidaknya menurutku begitu. Seringkali pamrih atau juga disalahartikan
menjadi biang keladinya. Banyak orang senang berbuat baik, tapi perbuatan baik tersebut
belum tentu menghasilkan hal yang baik bagi si pemberi maupun si penerima.
Perbuatan baik semacam ini hanya menjadi derita bagi kedua belah pihak.
Contohnya aku sendiri, ketika suatu
kali aku memberikan kue lapis legit yang menjadi kue favoritku sejak lama
kepada seorang kawan, aku akan menunggu responnya untuk mencicipi, atau minimal
aku akan bertanya kepadanya entah esok, beberapa hari kemudian, ataupun saat
kesempatan bertemu dengannya. “Bagaimana kuenya, enak?”, pertanyaan yang hanya
sekadar basa-basi untuk mengharapkan jawaban “enak”. Apabila jawabannya enak,
senanglah hatiku. Selesailah perkara. Namun apabila jawabannya selain itu,
semisal “kemanisan” atau “kurang cocok”, mungkin aku sudah menyiapkan berbagai
pembelaan terhadap kue lapis lagit favoritku tersebut seakan aku sendiri si
pembuat kue, atau lebih lagi anggapan seakan pribadiku yang sedang diserang. Penghinaan
atas kue lapis legit favoritku membawa derita tersendiri bagiku. Tentunya memiliki
mental seperti ini membuatku tidak nyaman, karena pertemanan kami dipertaruhkan
hanya karena persoalan sepele, yaitu kue lapis legit. Padahal sejak awal
maksudnya berbuat baik, tapi hasilnya menjadi tidak baik.
Di sisi lain, aku juga pernah
mengalami di sisi sebaliknya. Ketika menerima hadiah ulang tahun berupa pakaian
dari seorang teman. Tentu, aku sangat bersyukur karena telah dikelilingi oleh
orang-orang yang baik yang mengasihiku dan memperhatikanku. Namun adakalanya
kita kurang menyukai hadiah yang diberikan kepada kita. Lantas, tak pantas juga
kita tolak pemberian tersebut karena dari teman baik yang hendak berbagi
kebaikannya. Kebaikan tersebut dibarengi dengan pertanyaan, “kok gak pernah
dipakai bajunya, gak suka ya?” Saat masih anak-anak, mungkin dengan lantang dan
ceplas-ceplos aku akan menjawab tanpa
beban “tidaakkk”. Namun selayaknya orang dewasa lainnya, aku juga sudah dibekali
kemampuan “bijaksana” yang dimiliki banyak orang dewasa lainnya dengan menjawab
“sukaaa” belum lagi ditambah senyuman (setengah palsu). Lagi-lagi hubungan baik
menjadi taruhannya.
Kedua pengalamanku tersebut
mengajarkanku bahwa ternyata tingkat kebaikanku masih berada di tingkat
terendah dari seluruh tatanan tingkat kebaikan, satu tingkat di atas tingkat
netral, dua tingkat di atas tingkat kurang baik. Jadi, apabila di kemudian hari
aku memberikan sesuatu kepada orang lain, aku belajar untuk tidak menambahkan
dengan keingintahuanku lebih lanjut tentang apa hasil dari perbuatan baikku,
karena maksud baikku terkhusus memang hanya sampai berbuat baik bukan mencari
tahu hasil dari perbuatan baikku. Sekian.
Oh ya, untuk contoh kedua, aku belum menemukan
jawabannya. Tapi kalau semua sepakat tidak mencari tahu hasil perbuatan baik masing-masing,
berarti aku tidak perlu berjerih payah menemukan jawabannya. J